"Ini bagus. Tapi harganya mahal. Anggur yang biasa saja. Yang merambat. Nanti dibuatkan para-para," kata ayah memutuskan.
Sekarang anggur itu sudah merimbun. Beberapa kali cucu-cucu ayah sudah dapat menikmati buahnya. Beliau selalu tersenyum ketika melihat anak cucunya menikmati anggur.
Begitulah Ayah. Senang bertanam. Halamannya penuh dengan segala macam tanaman. Beliau juga menanam cabai dalam polybag di salah satu sisi halamannya. Tiga batang markisa berbaris di halaman depan. Seluruh pinggir dinding halamannya hampir tidak ada jeda oleh pot tanaman. Ada sirih yang menjalar merengkuh tembok halaman dan tiang lampu.
Stek anggur hanya sekitar dua jengkal yang ditanamnya dulu sekarang telah bercabang bagai kaki gurita raksasa mencengkeram para-para. Ayah selalu menikmati proses dari setiap tindakannya. Beliau senantiasa sungguh-sungguh melakukan sesuatu. Amat jarang saya mendengar keluhnya.
Sebatang anggur milik Ayah. Hanya sebatang. Tetapi tanaman rambat itu telah melukiskan kesungguhannya ketika melakukan sesuatu.
Keberadaan anggur di depan teras itu telah menjelaskan bahwa beliau adalah pribadi yang sabar dan serius merawat sesuatu, sebagaimana beliau sangat serius merawat cinta almarhumah Ibu. Bahkan setelah Ibu pergi, beliau selalu berpesan, "Jangan lupa do'a untuk Ibumu!"
Lombok Timur, 14 Juni 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H