Mohon tunggu...
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙 Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Pesan Ayah

13 Juni 2022   20:10 Diperbarui: 13 Juni 2022   20:27 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar diolah dari Canva

Pagi ini, saya dapat menunaikan amanat dari Ayah untuk bangun subuh mengumandangkan azan di masjid dan shalat berjamaah. Alhamdulillah. Amanat itu dapat saya tunaikan.

Kemarin sore, Ayah pergi dengan berat bersama Ida, adik perempuan saya paling buntut yang tinggal di Lombok Barat. Dari Lombok Timur, tempat saya dan Ayah tinggal, menuju Lombok Barat cukup jauh, membutuhkan waktu sekitar 1 sampai 1,5 jam perjalanan.

"Ayah harus ikut!" kata Ida setengah memaksa. "Ayah harus ikut menginap. Saya mau mengajak Ayah menghadiri acara kenaikan kelas Abi."

Abi cucu ayah, anak pertama Ida. Dia sekolah di sebuah pesantren. Saat ini baru masuk tahun kedua. 

Ayah hanya diam mendengar permintaan Ida. Ada rasa berat di wajahnya untuk meninggalkan rumah. Rumah yang dibangun bersama almarhumah Ibu. Rumah dimana kami anak-anaknya tumbuh dalam tempaan kesederhanaan. Sebuah bangunan sederhana tetapi telah memberikan makna hidup yang mendalam kepada saya dan saudara-saudara saya.

Rumah itu selalu bersih. Ayah memang sangat menjaga kebersihan. Tidak saja bagian dalam rumah tetapi juga halaman. Dalam usianya yang sudah mencapai 80 tahunan beliau masih bugar untuk sekadar melakukan aktivitas bersih-bersih rumah dan halaman. Beliau sosok pekerja keras. Pantang bagi beliau berhenti sampai pekerjaan itu selesai.

"Kamu lahir ketika Jepang pertama kali datang ke Indonesia," demikian Ayah mengutip kata almarhum kakek ketika bercerita tentang kelahirannya kepada kami.

"Kalau baca sejarah tahun 1942", saya menimpali.

Saya manggut-manggut.

"Berarti umur Ayah sekarang berapa?" tanya Ayah sebelum saya memberikan tanggapan verbal. 

Pertanyaan itu bukan karena ayah tidak tahu umurnya sendiri. Itu hanya sebuah teknik dialog agar komunikasi verbal kami tidak terputus. Ayah selalu punya gagasan menyambung obrolan kalau terputus.

Saya mencari aplikasi kalkulator pada smartphone dan menghitung umur beliau dengan mengurangi tahun terakhir dengan tahun kelahiran.

"Delapan puluh," saya menjawab pertanyaannya.

"Banyak teman masa kecil Ayah yang sudah meninggal," katanya menanggapi jawaban saya. "Ada yang masih hidup tetapi sebagian sudah tidak dapat ke mana-mana lagi. Untuk ambil air wudlu saja harus dituntun."

Kalimat terakhir ini seakan hendak menjelaskan kepada saya bahwa beliau masih bugar dalam usia sekarang. Nadanya jelas menggambarkan sebuah kesyukuran atas keshatannya. Nada itu sudah mewakili penghambaannya kepada sang Pemberi Nikmat.

Hidup Ayah memang sederhana. Urusan makan tidak selalu harus enak. Beliau paling suka kacang kara atau kacang komak yang bijinya disangrai lalu dimasak dengan bumbu bawang dan cabai yang diiris. Sebersahaja itulah makanannya. Dan sebersahaja itu pula beliau memandang hidup. Mungkin itu sebabnya beliau selalu bugar dan sehat. Seingat saya hanya pernah sekali beliau menginap di rumah sakit. Selebihnya beliau hanya sebatas minum obat yang dibeli di pasaran.

Saat pergi bersama Ida, pesanya singkat. Beliau hanya berpesan agar saya tidak membiarkan masjid sepi. "Berapapun orang yang datang di masjid, pimpinlah shalat,"

Lombok Timur, 13 Juni 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun