Pertanyaan itu bukan karena ayah tidak tahu umurnya sendiri. Itu hanya sebuah teknik dialog agar komunikasi verbal kami tidak terputus. Ayah selalu punya gagasan menyambung obrolan kalau terputus.
Saya mencari aplikasi kalkulator pada smartphone dan menghitung umur beliau dengan mengurangi tahun terakhir dengan tahun kelahiran.
"Delapan puluh," saya menjawab pertanyaannya.
"Banyak teman masa kecil Ayah yang sudah meninggal," katanya menanggapi jawaban saya. "Ada yang masih hidup tetapi sebagian sudah tidak dapat ke mana-mana lagi. Untuk ambil air wudlu saja harus dituntun."
Kalimat terakhir ini seakan hendak menjelaskan kepada saya bahwa beliau masih bugar dalam usia sekarang. Nadanya jelas menggambarkan sebuah kesyukuran atas keshatannya. Nada itu sudah mewakili penghambaannya kepada sang Pemberi Nikmat.
Hidup Ayah memang sederhana. Urusan makan tidak selalu harus enak. Beliau paling suka kacang kara atau kacang komak yang bijinya disangrai lalu dimasak dengan bumbu bawang dan cabai yang diiris. Sebersahaja itulah makanannya. Dan sebersahaja itu pula beliau memandang hidup. Mungkin itu sebabnya beliau selalu bugar dan sehat. Seingat saya hanya pernah sekali beliau menginap di rumah sakit. Selebihnya beliau hanya sebatas minum obat yang dibeli di pasaran.
Saat pergi bersama Ida, pesanya singkat. Beliau hanya berpesan agar saya tidak membiarkan masjid sepi. "Berapapun orang yang datang di masjid, pimpinlah shalat,"
Lombok Timur, 13 Juni 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H