Pembelajaran adalah proses interaksi siswa dengan guru dan sumber belajar dalam sebuah lingkungan belajar. Dalam proses pembelajaran, siswa mengalami proses perolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan keterampilan tertentu, serta pembentukan sikap dan rasa percaya diri pada peserta didik.(1)
Pembelajaran, dengan kalimat yang berbeda, dapat diartikan sebagai proses pembentukan kompetensi yang meliputi ranah pengetahuan, keterampilan, dan sikap.
Pembelajaran mengandaikan semacam harapan bahwa prosesnya haruslah bersifat menyeluruh, holistik.
Sebagai pemimpin pembelajaran, guru semestinya dapat mendorong siswa mengembangkan kemampuan berpikir, melatih keterampilan, dan membentuk kepribadian.
Peran Guru
Guru sebagai pemimpin pembelajaran, karenanya, menempati posisi sentral. Pada titik ini guru berada pada posisi sebagai sumber belajar yang komprehensif--sebagai tempat bertanya, sumber inspirasi dalam menyelesaikan masalah, dan sebagai figur yang mampu tampil sebagai panutan dalam bersikap dan bertindak bagi peserta didik.
Tantangan besar guru dalam memimpin pembelajaran adalah membuka kemungkinan bagi siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir, menguasai keterampilan tertentu, dan membiasakan diri berperilaku ke arah yang positif.
Dalam menjalankan peran tersebut, guru dapat memilih pendekatan yang tepat dalam mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan.
Dari waktu ke waktu pendekatan itu mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan sosial budaya.
Pada saat yang sama, perubahan paradigma pembelajaran juga mengalami perkembangan. Pendekatan, strategi, dan metode pembelajaran di masa lalu berbeda dengan masa kini.
Ilmu pengetahuan dan teknologi terus berkembang. Ilmu pengetahuan itu tidak saja menyangkut ilmu-ilmu alam dan sains tetapi juga ilmu-ilmu di bidang sosial, ekonomi, budaya, sampai ilmu yang secara spesifik membahas tentang pendidikan itu sendiri.
Perkembangan ilmu pendidikan dan pembelajaran tentu bermuara pada perkembangan pendekatan, strategi, metode, sampai tata cara paling teknis dalam proses pembelajaran. Hal ini membuat peran guru mengalami rumusan yang terus menerus menjadi dikursus yang tidak pernah usai sepanjang waktu.
Peran dasar guru adalah sebagai pengajar dan pembimbing, sebagai transporter (alat angkut) informasi dalam wujud ilmu pengetahuan dan budaya kepada peserta didik.
Peran dasar itu berkembang menjadi makin kompleks akibat tuntutan perubahan peradaban yang makin kompleks dari masa ke masa.
Sebuah pendapat menyebutkan bahwa peran guru dalam proses pembelajaran adalah sebagai informator, organisator, motivator, pengarah/direktor, inisiator, transmiter, fasilitator, mediator, dan evaluator. Pendapat lain memetakan peran guru dalam proses pembelajaran sebagai pendidik, pengajar, pembimbing, pelatih, penasehat, pembaharu (inovator), model dan teladan, pribadi, peneliti, pendorong kreativitas, pembangkit pandangan, pekerja rutin, pemindah kemah, pembawa cerita, aktor, emansipator, pengawet, dan sebagai kulminator.(2)
Guru sebagai Pemberi Sanksi
Dari deretan peran guru di atas salah satu peran yang tidak disematkan adalah pemberi sanksi (hukuman) atau punisher. Walaupun diberikan ruang untuk memberikan sanksi, secara teori tidak ditemukan posisi guru sebagai "pemberi putusan bersalah" lalu memberikan sanksi sebagai kompensasi atas kesalahan yang dilakukan peserta didik.
Dalam banyak kajian, punishment atau sanksi kepada siswa memang diperlukan dalam pembelajaran. Akan tetapi, bentuknya lebih mengarah kepada hal-hal yang positif, misalnya dengan memberikan tugas tambahan yang bersifat mendidik.
Sebagaimana dipahami bahwa sanksi merupakan kompensasi yang diterima seseorang ketika melakukan sebuah kesalahan. Sanksi itu bisa berupa sanksi hukum, sanksi sosial, atau sanksi agama yang relevan. Ini merupakan aturan untuk mewujudkan harmoni dalam kehidupan manusia.
Dalam dunia pendidikan sanksi juga memiliki peran penting. Pertimbangan utamanya bahwa sanksi tentu harus disesuaikan dengan kondisi yang terjadi.
Sanksi pada umumnya berhubungan dengan kesalahan dalam perilaku atau pelanggaran terhadap sebuah peraturan (sekolah).
Beberapa perilaku yang melanggar peraturan sekolah, misalnya, tidak mengerjakan tugas, sering datang terlambat, merokok, suka bolos, atau tertidur saat pembelajaran berlangsung.
Guru pada masa lalu biaisanya mengajar dengan gaya yang tegas dan kaku. Banyak endapan kisah guru zaman dahulu yang tidak segan-segan memberikan sanksi fisik kepada siswa jika ketahuan melanggar aturan sekolah.
Kesalahan siswa kerap kali berakhir pada ujung penggaris atau lemparan penghapus. Sering pula ditemukan siswa yang mengikuti pelajaran sambil terkantuk-kantuk, diberikan hukuman berdiri di depan kelas dengan satu kaki dan tangan terentang.
Ada juga siswa yang harus berlari keliling lapangan jika tidak mengerjakan tugas pekerjaan rumah. Pada hari yang lain, sejumlah siswa terkena razia dan harus merelakan rambut gondrongnya digunting cepak dengan cukuran yang tidak rata.
Sanksi-sanksi di atas, tidak terlepas dari upaya guru untuk membentuk perilaku siswa atau menekan perilaku indisipliner siswa.
Bentuk-bentuk sanksi di atas bukanlah bertujuan negatif tetapi sebagai upaya menempa siswa agar menjadi pribadi yang memiliki disiplin dan memiliki kesadaran untuk menaati peraturan sekolah. Akan tetapi, sanksi semacam itu kini dianggap tidak edukatif karena dapat menumbuhkan semacam dendam.
Proses pembelajaran dewasa ini mengalami perkembangan yang jauh berbeda dengan zaman lampau. Anak-anak masa kini dibentuk dalam kehidupan sosial budaya yang bebas dan terbuka. Hal ini menyebabkan pemberian sanksi fisik seperti di atas kerap dianggap tidak direkomendasikan lagi.
Banyak kasus yang menunjukkan bahwa pendekatan pembelajaran dengan sanksi kekerasan fisik maupun verbal tidak menyelesaikan masalah. Bahkan dapat berakibat pada munculnya persoalan hukum. Hal ini tidak saja karena perubahan cara berpikir masyarakat tetapi juga sebagai respons atas gagasan tentang perlindungan anak.
Ketika siswa melakukan kesalahan sebaiknya guru tidak buru-buru menetapkan sanksi. Diperlukan semacam investigasi untuk mengungkapkan penyebabnya.
Peringatan merupakan tindakan awal kepada siswa yang bersangkutan agar tidak melakukan kesalahan yang sama secara berulang-ulang.
Jika siswa tidak dapat berubah dengan peringatan, di sinilah sanksi dapat menjadi alternatif terakhir dengan catatan bahwa sanksi tersebut harus memuat nilai-nilai edukatif.
Hal paling utama adalah pendekatan personal kepada siswa yang bersangkutan. Keterlibatan orang tua dalam hal ini diperlukan sebagai bentuk kolaborasi antar stakeholder.
Lombok Timur, 29 Mei 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H