Asesmen Nasional merupakan program penilaian mutu setiap sekolah, madrasah, dan program kesetaraan pada jenjang dasar dan menengah. Penilaian mutu dilakukan berdasarkan hasil belajar murid yang mendasar (literasi, numerasi, dan karakter).
Sasaran penilaian juga berorientasi kepada kualitas proses belajar-mengajar dan iklim satuan pendidikan yang mendukung pembelajaran. Penilaian sebagai kegiatan mendapatkan data atau informasi tersebut menggunakan tiga instrumen utama, yaitu Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar.(1)
Asesmen Nasional, sebagai upaya memetakan sistem pendidikan berupa input, proses, dan hasil melalui serangkaian tahapan, tidak digunakan untuk melakukan gradasi atau penentuan peringkat sekolah tetapi sebagai acuan untuk melakukan pengukuran kualitas belajar yang bermuara peningkatan hasil belajar murid.(2)
Tahun 2021 yang lalu, pelaksanaan Asesmen Nasional mulai dilakukan melalui Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK). Sebelum ANBK sekolah (peserta didik) terlebih dahulu mengikuti pra-asesmen berupa gladi dan simulasi. Pra-asesemen dilakukan untuk mengetahui kesiapan sekolah dan kemampuan server pusat dalam mengakomodir pelaksanaan ANBK secara optimal.
Pelaksanaan ANBK menuntut semua sekolah melakukan penyiapan perangkat dan jaringan internet yang memadai. Di sinilah permasalahan muncul. Tidak semua sekolah memiliki fasilitas sesuai harapan. Bagi sekolah yang memiliki perangkat TIK dan jaringan, pelaksanaan ANBK tidaklah terlalu bermasalah. Pada kenyataannya banyak sekolah di pelosok negeri tidak memiliki perangkat komputer/laptop dan jaringan internet.
Sekolah saya sendiri hanya memiliki 4 laptop dan 2 buah komputer. 2 sampai 3 dari laptop itu tergolong afkir dengan spek yang cenderung membuat kinerja perangkat tertatih. Jaringan internet juga menjadi salah satu kendala. Dengan fasilitas seperti itu pelaksanaan Asesmen dilakukan secara bergiliran.
Saat peserta mengikuti simulasi server pusat mengalami “depresi”. Kondisi ini menyebabkan peserta tidak dapat login ke akun masing-masing. Akibatnya pelaksanaan simulasi tertunda.
Pada titik ini sekolah melakukan “improvisasi” dengan memanfaatkan akun Office 365 yang sebelumnya telah diajukan sekolah ke pihak microsoft. Dengan Microsoft Teams disebut juga MS Teams (bagian dari feature Office 365) salah seorang guru yang telah terlatih membuat kelas maya dan menyusun soal simulasi dengan memanfaatkan fitur microsoft forms.
Dalam pelaksanaan simulasi, siswa benar-benar mulai dari titik nol. Mereka diberikan bimbingan cara mengaktivasi akun masing-masing dan login ke MS Teams. Setelah berhasil login, siswa diarahkan untuk membuka soal simulasi ANBK yang telah diunggah ke kelas dalam MS Teams.
Rerata siswa untuk pertama kalinya berhubungan dengan keyboard dan mouse atau touchpad pada laptop. Tangan-tangan kecil mereka masih kaku dalam mengoperasikan komponen-komponen perangkat itu. Siswa yang berhadapan dengan personal computer, menggunakan mouse seperti memegang sebongkah ubi bakar yang masih panas. Hasilnya gerakan kursor bagaikan seekor tikus berlarian dikejar kucing garong dalam ruang sempit.
Siswa yang menggunakan laptop mengalami hal yang hampir sama. Jari mungilnya masih terbata-bata menggesek-gesekkan jemarinya pada touchpad atau menekan 2 atau 3 tombol keyboard secara bersamaan. Mata-mata bening mereka belum biasa terfokus pada dua komponen perangkat, keyboard dan desktop. Ada juga bingung membedakan angka “0” dan huruf “O” pada keyboard.
Dalam kondisi itu tampak jelas bahwa mereka menikmatinya—menikmati teknologi yang sebenarnya sudah mereka kenal tetapi tidak pernah bersentuhan. Seperti sebagian orang yang setiap pagi melihat puncak Rinjani menjulang menembus lengkung langit tetapi tidak pernah menginjakkan kakinya ke gundukan raksasa itu. Berada dalam ruang sempit dan cenderung panas, mereka kehilangan kesadaran pada hal lain. Pikiran mereka membidik sempurna obyek di hadapannya.
Dalam kondisi itu pula semua peserta (siswa) dapat mengaktivasi akun masing-masing. Secara teknis siswa mulai mengenal MS Teams. Karena pengenalan bersifat awal, diperlukan bimbingan intensif agar siswa lebih familiar sehingga lebih cekatan dalam mengoperasikan laptop/PC.
Adaptasi Siswa terhadap Teknologi Digital.
Pada artikel saya sebelumnya tentang transformasi digital pendidikan (3) telah diuraikan sekilas tentang urgensi dan beberapa tantangannya. Pada kesempatan ini saya tidak akan membahasnya kembali sebagai bentuk kepatuhan terhadap aturan Kompasiana.
Satu hal yang penting berdasarkan pengalaman di atas bahwa proses adaptasi siswa terhadap perangkat TIK ternyata lebih cepat daripada perkiraan. Hal itu terlihat dari proses aktivasi akun sampai masuk ke ruang kelas dimana mereka terlibat dalam kegiatan simulasi.
Berdasarkan pengalaman di atas, kemampuan adaptasi siswa terhadap teknologi digital cukup baik walaupun pada cakupan yang masih sederhana. Hal ini tentu menjadi pendukung dalam rangka transformasi digital pendidikan.
Adaptasi itu sebenarnya sangat terbantu dengan perkembangan telepon pintar saat ini. Jika era 80-an pemerintah orde baru mencanangkan “televisi masuk desa”, sekarang tanpa pencananganpun perangkat smartphone sudah masuk kampung. Telepon pintar itu dapat ditemukan di sudut-sudut terpencil.
Transformasi Mental Digital
Seorang teman facebook dari Maluku dengan nama akun Kaharman Ibo menulis pada beranda facebooknya bahwa transformasi digital pendidikan memerlukan satu hal penting yaitu Transformasi Mental Digital. Transformasi mental merupakan perubahan sikap dan prilaku seseorang dalam penggunaan teknologi digital menuju ke arah yang lebih positif.
Sudah menjadi permasalahan sosial bahwa di balik keakraban anak-anak dan remaja dengan smartphone dan berbagai gawai yang ada, telah secara niscaya membawa pengaruh kurang sedap terhadap perkembangan mereka. Smartphone yang menyediakan berbagai games online dan aplikasi media sosial membuat mereka terdorong membangun eksistensi di dunia maya tanpa batas. Keadaan ini memaksa mereka kehilangan dunia realitas. Fenomena ini tidak saja mewarnai kehidupan anak-anak dan remaja tetapi juga orang tua dan sebagian besar masyarakat.
Di sinilah pentingnya upaya transformasi mental. Secara individu diperlukan pengelolaan diri dalam penggunaan teknologi informasi itu agar dapat dimanfaatkan secara bijak dan positif. Dalam konteks pemanfaatan teknologi digital di sekolah penting untuk membangun sinergitas sekolah dan orang tua dalam rangka membangun transformasi (mental) digital pendidikan.
“Kecepatan adaptasi anak-anak dalam penggunaan teknologi digital harus diimbangi dengan adaptasi sikap mental mereka untuk mengurangi pengaruh buruk yang ditimbulkan teknologi itu sendiri”
Lombok Timur, 07 Mei 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H