Siswa yang menggunakan laptop mengalami hal yang hampir sama. Jari mungilnya masih terbata-bata menggesek-gesekkan jemarinya pada touchpad atau menekan 2 atau 3 tombol keyboard secara bersamaan. Mata-mata bening mereka belum biasa terfokus pada dua komponen perangkat, keyboard dan desktop. Ada juga bingung membedakan angka “0” dan huruf “O” pada keyboard.
Dalam kondisi itu tampak jelas bahwa mereka menikmatinya—menikmati teknologi yang sebenarnya sudah mereka kenal tetapi tidak pernah bersentuhan. Seperti sebagian orang yang setiap pagi melihat puncak Rinjani menjulang menembus lengkung langit tetapi tidak pernah menginjakkan kakinya ke gundukan raksasa itu. Berada dalam ruang sempit dan cenderung panas, mereka kehilangan kesadaran pada hal lain. Pikiran mereka membidik sempurna obyek di hadapannya.
Dalam kondisi itu pula semua peserta (siswa) dapat mengaktivasi akun masing-masing. Secara teknis siswa mulai mengenal MS Teams. Karena pengenalan bersifat awal, diperlukan bimbingan intensif agar siswa lebih familiar sehingga lebih cekatan dalam mengoperasikan laptop/PC.
Adaptasi Siswa terhadap Teknologi Digital.
Pada artikel saya sebelumnya tentang transformasi digital pendidikan (3) telah diuraikan sekilas tentang urgensi dan beberapa tantangannya. Pada kesempatan ini saya tidak akan membahasnya kembali sebagai bentuk kepatuhan terhadap aturan Kompasiana.
Satu hal yang penting berdasarkan pengalaman di atas bahwa proses adaptasi siswa terhadap perangkat TIK ternyata lebih cepat daripada perkiraan. Hal itu terlihat dari proses aktivasi akun sampai masuk ke ruang kelas dimana mereka terlibat dalam kegiatan simulasi.
Berdasarkan pengalaman di atas, kemampuan adaptasi siswa terhadap teknologi digital cukup baik walaupun pada cakupan yang masih sederhana. Hal ini tentu menjadi pendukung dalam rangka transformasi digital pendidikan.
Adaptasi itu sebenarnya sangat terbantu dengan perkembangan telepon pintar saat ini. Jika era 80-an pemerintah orde baru mencanangkan “televisi masuk desa”, sekarang tanpa pencananganpun perangkat smartphone sudah masuk kampung. Telepon pintar itu dapat ditemukan di sudut-sudut terpencil.
Transformasi Mental Digital
Seorang teman facebook dari Maluku dengan nama akun Kaharman Ibo menulis pada beranda facebooknya bahwa transformasi digital pendidikan memerlukan satu hal penting yaitu Transformasi Mental Digital. Transformasi mental merupakan perubahan sikap dan prilaku seseorang dalam penggunaan teknologi digital menuju ke arah yang lebih positif.
Sudah menjadi permasalahan sosial bahwa di balik keakraban anak-anak dan remaja dengan smartphone dan berbagai gawai yang ada, telah secara niscaya membawa pengaruh kurang sedap terhadap perkembangan mereka. Smartphone yang menyediakan berbagai games online dan aplikasi media sosial membuat mereka terdorong membangun eksistensi di dunia maya tanpa batas. Keadaan ini memaksa mereka kehilangan dunia realitas. Fenomena ini tidak saja mewarnai kehidupan anak-anak dan remaja tetapi juga orang tua dan sebagian besar masyarakat.
Di sinilah pentingnya upaya transformasi mental. Secara individu diperlukan pengelolaan diri dalam penggunaan teknologi informasi itu agar dapat dimanfaatkan secara bijak dan positif. Dalam konteks pemanfaatan teknologi digital di sekolah penting untuk membangun sinergitas sekolah dan orang tua dalam rangka membangun transformasi (mental) digital pendidikan.
“Kecepatan adaptasi anak-anak dalam penggunaan teknologi digital harus diimbangi dengan adaptasi sikap mental mereka untuk mengurangi pengaruh buruk yang ditimbulkan teknologi itu sendiri”