Mohon tunggu...
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙 Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Salesmen dan Rasa Sesal

6 April 2022   23:23 Diperbarui: 6 April 2022   23:28 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seseorang mengucap salam ketika saya baru saja meletakkan kepala suatu siang. Salamnya diulang terus menerus membuat saya bangkit dan membuka pintu.

Seorang anak muda berdiri di pinggir teras. Tubuh kecil, kulitnya cenderung gelap, tetapi wajahnya cukup manis. Tatapan matanya memberikan kesan sebagai pribadi yang mandiri dan penuh semangat. Dia mengenakan celana formal hitam, baju putih kembang-kembang. Kakinya dibalut sepatu hitam pantofel. Penampilannya saja sudah menjelaskan bahwa dia sedang menjalankan tugas sebagai seorang sales.

"Mohon maaf, bisa minta waktunya sebentar?" sebuah kalimat tanya menyeruak dari bibir mungilnya, sebanding dengan tubuhnya yang mungil.
"Ada apa?" saya meresponnya agak ketus.
"Sosialisasi, Pak!" katanya refleks.
"Sudah dapat ini?" lanjutnya sambil mengangkat kotak kemasan di tangan kirinya.
"Belum", saya masih merespon dengan sikap awal. Efek ngantuk karena baru pulang setelah keluar rumah untuk menyelesaikan sesuatu yang perlu diselesaikan.
"Anak ini mau jualan," pikir saya.
"Maaf tidak bisa. Saya baru pulang. Mau istirahat," saya mencoba memberikan pengertian dengan suara merendah.
"Dua menit saja," katanya penuh harap.
"Tidak bisa. Silakan cari yang lain saja!" saya kembali melemparkan nada  ketus. Saya membalikkan badan, menutup pintu rumah dan kembali tidur.

Dalam beberapa tarikan asap rokok saya belum bisa tidur. Entahlah. Wajah anak muda itu seperti terus memohon. Pikiran saya dengan tiba-tiba memposisikan diri saya sebagai anak muda itu. 

Sejumlah pertanyaan menyeruak dalam pikiran saya.  Bagaimana kalau saya menjadi anak muda itu? Bagaimana perasaanya saat ditolak ketika dia harus memenuhi ambisi perusahaan mencapai target penjualan. Bisa jadi anak itu sudah berjalan seharian. Mungkin saja dia tengah berjibaku melawan rasa lelah di balik semangatnya memenuhi ambisi perusahaan.

Ada rasa bersalah dengan sikap saya siang itu. Terutama saat saya menutup pintu dan masuk tanpa menoleh. Maafkan saya anak muda. Hari itu saya agak capek dan ngantuk. Sekali lagi maafkan. Saya berharap bisa bertemu di lain waktu dan berkesempatan mendengarkan suaramu.

Maafkan saya Ibu.

Lombok Timur, 06042022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun