Mohon tunggu...
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙 Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Penilaian Pembelajaran: Refleksi Hasil Rapat K3S

31 Maret 2022   20:56 Diperbarui: 1 April 2022   05:55 709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hanya saja, satu hal yang penting menjadi catatan adalah bahwa selama ini pola penilaian cenderung menyeragamkan mutu sekolah. Akibatnya, penyusunan alat evaluasi pada penilaian semester dan penilaian ujian akhir sekolah cenderung bersifat sentralistik dan menafikan heterogenitas siswa yang ada pada masing-masing sekolah. Ini berarti bahwa alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan informasi tentang perkembangan siswa menggunakan satu parameter.

Akibat paling memilukan adalah adanya kecenderungan kurangnya kemampuan guru dalam menyusun alat ukur. Hal ini terjadi karena mereka tidak diberikan kesempatan untuk membuat soal sendiri.

Dari sudut pandang biaya, argumen ini mungkin bisa dikesampingkan. Perbedaan biaya cetak kolektif beberapa sekolah dengan cetak mandiri menurut saya tidak terlalu signifikan. Hal terpenting adalah bagaimana guru terlatih membuat soal penilaian. Salah satu solusinya adalah dengan memberikan kepercayaan kepada mereka untuk melakukan penilaian secara mandiri.

Bagaimana jika hasil penyusunan soal yang tidak valid sehingga mengorbankan anak-anak sebagai obyek penilaian? Di sinilah proses belajar itu berlaku. Belajar merupakan upaya mengurangi kesalahan. Maka penting untuk melakukan evaluasi setiap proses dan hasil sebagai acuan untuk memperbaiki proses selanjutnya. Salah dan coba lagi. Kalau boleh jujur, munculnya asumsi bahwa guru sebagian besar tidak berkompeten membuat soal karena selama ini mereka telah menjadi korban kesepakatan berulang-ulang yang perlu ditinjau ulang.

Saya teringat ketika dulu saya dan pembaca artikel ini duduk di bangku sekolah. Para guru di masa lalu yang menjalankan tugas kependidikan dengan keterbatasan teknologi tetapi mampu menjalankan tugas dalam memimpin pembelajaran dengan sangat maksimal. Dengan media tulis yang sangat konvensional dalam persepektif kemajuan teknologi saat ini, mereka menjalani tugasnya nyaris sempurna.

Seharusnya kondisi masa lalu itu dapat mengubah cara berfikir yang lebih maju bagi pelaksanaan pendidikan dewasa ini. Media tulis digital dan sumber belajar yang melimpah dalam jaringan internet saat ini seharusnya membuat guru lebih memiliki kemampuan merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi, dan melakukan tindak lanjut pembelajaran.

Lombok Timur, 31 Maret 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun