Tubuhnya telanjang dada. Secara kasat mata tampak panu membiak di punggungnya. Selembar sarung lusuh menutupi bagian bawah tubuh gemuknya yang terkesan ringkih.
Sehelai masker tak kalah lusuh bergelayut di dadanya. Kain pelindung saluran pernafasan itu terlihat dekil. Itu sudah menegaskan bahwa maskernya tidak terbilas cairan pembersih dalam jeda waktu yang lama.
Di ujung hidungnya bertengger sebuah kacamata. Warna gagangnya sudah kusam, pertanda alat bantu indra penglihatan itu merupakan keluaran pabrik yang diproduksi mungkin belasan tahun silam. Kacamata itu telah dimodifikasi. Ada benda hitam berbentuk silinder nongkrong pada bingkai sebelah kanan.
Dalam silinder terpasung sebuah lensa pembesar. Sebelah lagi ditutupi dengan lapisan kedap cahaya. Saya menduga dengan modifikasi seperti itu dia tidak perlu memicing-micingkan matanya untuk melihat bagian-bagian arloji yang relatif kecil-kecil.
Saat memperbaiki arloji, kacamatanya turun naik dari hidung ke kepalanya silih berganti. Sepintas tampak laki-laki renta itu seperti lukisan Tommaso da Modena yang menggambarkan seorang biksu yang sedang menulis manuskrip. Yang membedakannya topi lebar dan jubah hitam. Jika dalam lukisan biksu memegang pena, tukang arloji tua memegang pinset.
Di hadapannya, sebuah meja berfungsi sebagai altar untuk membongkar dan mengurai benda-benda kecil lalu menyusunnya kembali ke dalam jam tangan. Meja itu sama ringkih dengan tubuhnya. Persis di atas pangkuannya sebuah laci meja memiliki fungsi ganda. Sebagai alas kerja dan tempat menyimpan barang.
Di sisi kanan pinggir kanan meja sebuah tas plastik juga menampung berbagai peralatan arloji. Meja itu sendiri terlihat pasrah menahan beban sebuah etalase tua di atasnya.
Kaca etalase muram seakan mewakili kemuraman hidup pemiliknya. Di dalamnya bergelantungan tali arloji berbahan logam, kulit, dan bahan sintetis. Casing arloji memenuhi sebuah kotak kecil. Wadah lainnya berisi komponen-komponen penyusun jam tangan. Semua benda-benda itu sudah lawas, usang, dan berkarat.
Tukang arloji tua dengan perkakas tuanya di bawah naungan lengkung langit. Entah sudah berapa lama dia bekerja di trotoar itu. Sudah bertahun-tahun saya melintas, meja lapaknya tidak pernah berpindah, tetap termangu di tempatnya.
Tukang arloji tua. Seharian mata, tangan, dan pikirannya berkonsentrasi pada benda-benda kecil dalam jam tangan. Dia terus memainkan ujung pinsetnya. Diabaikannya hiruk pikuk jalanan, gemerincing delman, asap mesin, dan orang-orang yang bergegas berpacu mengimbangi detak jarum jam yang sudah berhasil diperbaikinya.
Tukang arloji tua. Pikirannya dikurung dalam lingkaran arlogi ketika orang-orang gundah gulana dengan kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng. Kesadarannya tersandera lancip kecil jarum jam ketika orang jauh di sana menyampaikan tentang penyederhanaan surat suara pemilu. Diapun tidak terpengaruh dengan rencana kenaikan harga pertamax.
Lombok Timur, 30 Maret 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H