Pagi itu, langit di Desa Sukalestari terlihat cerah, dengan awan putih yang menggantung seperti kapas. Burung-burung berkicau riang, mengiringi aktivitas pagi keluarga Pak Rendra. Di halaman rumah, tumpukan bahan bangunan seperti kayu, batu bata, dan pasir sudah siap digunakan untuk pembangunan rumah impian mereka.
Pak Rendra berdiri di depan anak-anaknya sambil membawa daftar pekerjaan. “Baik, ini hari pertama pembangunan rumah. Semuanya punya tugas masing-masing. Siapa siap bekerja?”
Serentak, kelima anaknya mengangkat tangan dengan semangat. Tawa pun pecah ketika Tasya, si bungsu, mencoba mengangkat ember pasir yang terlalu berat untuknya. “Aku juga mau bantu, Ayah!” katanya dengan polos.
“Tenang, Tasya. Kamu tugasnya nanti menyiram bunga, ya?” ujar Bu Amara sambil tersenyum. Tasya mengangguk ceria, sambil berlari mengambil penyiram airnya.
Kegembiraan di Tengah Pembangunan
Pembangunan rumah dimulai dengan gotong royong. Beberapa warga desa ikut membantu, termasuk Pak Sarman dan anaknya. Raditya yang energik langsung mengambil peran memindahkan batu bata, sementara Arka membantu mengarahkan pekerja agar fondasi rumah diletakkan dengan benar.
“Pak, ini sudutnya harus lebih rata,” kata Arka sambil memegang penggaris dan papan gambar milik Kiran.
“Aku suka lihat Arka serius seperti ini,” celetuk Kiran sambil tertawa kecil. “Seperti arsitek profesional!”
Di sisi lain, Anindya dan ibunya sibuk menyiapkan makanan untuk semua orang yang membantu. “Masakannya harus banyak, Bu, biar semuanya semangat,” kata Anindya sambil mengaduk panci besar berisi sup ayam.
Ketika jam makan siang tiba, semua berkumpul di bawah pohon mangga besar yang ada di samping rumah lama. Tawa dan canda mengisi udara, menciptakan suasana hangat di tengah lelahnya bekerja.
Tantangan Baru di Tengah Proses
Namun, tidak semua berjalan mulus. Di hari ketiga pembangunan, cuaca tiba-tiba berubah mendung. Hujan deras mengguyur, membuat pasir dan batu bata basah. Beberapa warga yang membantu mulai khawatir kalau fondasi yang telah dikerjakan akan rusak.
“Kita harus menutupi bahan bangunan secepatnya!” ujar Pak Rendra dengan nada tegas. Arka dan Raditya segera mengambil terpal dan bekerja di tengah hujan. Kiran juga ikut membantu memindahkan barang-barang kecil ke tempat yang aman.
Sementara itu, Bu Amara menenangkan Tasya yang tampak sedih melihat hujan. “Ibu, apakah rumah kita tidak bisa selesai?” tanya Tasya dengan mata berkaca-kaca.
Bu Amara tersenyum, mengusap kepala anak bungsunya. “Tasya, rumah ini akan selesai karena kita semua bekerja sama. Hujan ini hanya ujian kecil. Setelah hujan, biasanya pelangi akan muncul, kan?”
Kata-kata itu membuat Tasya kembali ceria. Ia bahkan ikut menyemangati kakak-kakaknya yang bekerja keras di luar.
Pelajaran dari Kebersamaan
Ketika hujan reda, semua kembali bekerja. Meskipun lelah, tidak ada yang mengeluh. Bahkan, warga desa semakin kagum dengan kekompakan keluarga Pak Rendra.
Pak Sarman berkata pada Pak Rendra, “Keluarga Anda itu seperti inspirasi, Pak. Semangatnya luar biasa. Kami senang bisa ikut membantu.”
Pak Rendra tersenyum, lalu menjawab, “Saya hanya percaya bahwa kebahagiaan itu bukan soal seberapa besar yang kita punya, tapi seberapa besar yang kita bagikan. Kalau kita saling mendukung, semua tantangan bisa kita lewati.”
Di tengah pekerjaan, tawa anak-anak kembali terdengar. Tasya mencoba memanjat tumpukan kayu, sementara Raditya bercanda dengan Kiran tentang siapa yang lebih kuat. Anindya sibuk menyeka debu di wajahnya sambil berkata, “Setelah ini, aku harus mandi sepuluh kali!”
Hari itu, meskipun lelah, kebahagiaan memenuhi hati semua orang. Tawa anak-anak di pagi hari menjadi pengingat bahwa kerja keras akan selalu terasa ringan jika dilakukan bersama orang tercinta.
Harapan Baru
Malam harinya, keluarga Pak Rendra berkumpul di ruang tamu sambil minum teh hangat. Bu Amara memulai percakapan. “Hari ini kita belajar banyak, ya. Tantangan itu akan selalu ada, tapi cinta kita adalah kekuatan yang membuat semuanya mungkin.”
Arka mengangguk sambil berkata, “Aku yakin rumah ini bukan hanya akan jadi tempat tinggal, tapi juga tempat kita menyimpan kenangan indah.”
“Betul!” Tasya menimpali dengan semangat. “Dan aku akan tanam banyak bunga matahari di taman!”
Pak Rendra tertawa kecil, memandang keluarganya dengan penuh kebanggaan. Ia tahu, rumah impian itu bukan hanya bangunan fisik, tapi juga simbol dari cinta dan kerja keras mereka.
Artikel sebelumnya bisa di cek di link bawah ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H