Mohon tunggu...
Mohamad Tamrin
Mohamad Tamrin Mohon Tunggu... Dosen - Writer | Storyteller and Traveller | Data Analyst

Writer | Storyteller and Traveller | Data Analyst

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bavaria dan Surat Balasan dari Eindhoven

29 Oktober 2021   12:24 Diperbarui: 29 Oktober 2021   12:37 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sekitar restoran Bavaria, Eindhoven pada musim panas. Foto: Pribadi/Mohamad Tamrin

PERBAIKAN rel kereta menyebabkan keberangkatan ke Amsterdam tertunda. Semua penumpang yang hendak menuju ke berbagai kota tumpah ruah di luar stasiun. Sedang saya memilih keluar dari ruang tunggu menuju salah satu restoran di simpang jalan, sekitar Heuvel Galerie.

Hawa panas kian menyeruak tanpa jemu, mengiringi pengumuman yang disiarkan pihak stasiun. Saya sedikit cemas sekaligus gelisah begitu mendengar pengumuman itu. Para penumpang kota tujuan Amsterdam baru bisa berangkat jam lima sore dengan menggunakan bus – tentu saja pihak kereta memberikan kompensasi atas hal tersebut.

Hampir tiga jam lamanya saya menunggu keberangkatan menuju Amsterdam – seperti sebuah perasaan lelah yang terpendam namun tidak kunjung padam. Di Bavaria saya memesan minuman bersoda dan Waffle bakar.

Sendirian tanpa peduli. Di dekat tiang saya memilih duduk sembari menikmati suasana sekitar yang benar-benar tidak lengang sedikit pun. Riuh-rendah orang-orang menyantap makanan, sendok beradu dengan piring – menghasilkan ritme keramaian. Bayangkan, duduk sendirian menjadi tamu asing di tengah ributnya orang-orang tanpa satupun yang dikenal.

Dalam sekejap saya adalah keterasingan itu sendiri. Berada di tengah keramaian, menjelma riuh yang sepi di dalam diri tanpa yang lain untuk menukar kata apalagi hanya sekadar cerita.

Apa boleh buat, begitulah perjalanan siang itu. Di Bavaria, keriuhan kian menjadi-jadi sedang di sudut-sudut pikiran di mana keterasingan yang sepi menjadi pengawal paling setia. Dengan berpura-pura saya menikmatinya, sembari menghadirkan pikiran imajiner tentang sejarah dan perjalanan, membayangkan jika saya sedang duduk berdua saja di tempat itu – dengan kawan yang entah seorang perupa belum dikenal dunia.

Tidak ada yang tidak mungkin. Pikiran adalah semesta yang lain, jauh lebih luas serta liar dari pada sekat-sekat kota Eindhoven, apalagi hanya Bavaria. Membayangkan kami memesan dua minuman. Dia meneguk bir sedang saya Jus Apel. Kami berdua bercakap-cakap membuang bosan sembari menunggu kereta menuju Amsterdam.

Kami bertukar cerita, menakar rasa sekaligus gelisah. Tentang tanah-tanah yang dirampas atas nama kesejahteraan, dikoyak-koyak bangunan. Dia bercerita perihal bulan yang redup di kaki-kaki bukit pesisir dan terkubur bersama deru tangis si lapar.

Terus menerus melantunkan cerita hingga dua gelas minuman tandas, di Bavaria kami sedang merayakan ritual perantauan tentang negeri penjajah. Menyaksikan sekali lagi peninggalan purba masa lalu di negeri sendiri.

Pertemuan kami menandai pandangan baru, meskipun semuanya tentang tanah air. Sebelum dia bangkit hilang dalam percakapan imajiner, saya berucap tentang kampung pesisir, juga tentang orang-orang yang tinggal di dalamnya.

“Pesisir sedang berkarat dan akan karam dimakan lumut – dihantam badai ombak. Lebih terpuruk dari segala kemungkinan keterpurukan.”

Kami berdiri, berdua saja. Tanpa basa-basi mengucap kata dan berpisah.

“Kau lihat dan saksikan dengan mata kepala sendiri betapa ekosistem sedang tidak sehat. Keruntuhan atas keangkuhan sudah bisa kau simpulkan.” Tanyanya sembari melambaikan tangan dan hilang dalam terik sekaligus keriuhan Bavaria.

Dari tempat duduk, saya membuang wajah ke arah kiri. Bunga-bunga di atas deretan meja makan yang sengaja disusun sedemikian rapi, juga yang menggantung rendah di tiang lampu. Warna dominan bunga merah menyala begitu selaras dengan wajah bangunan-bangunan kota – perpaduan fragmen warna yang hampir sama, juga pakaian para pelayan perempuan yang mengantar Waffle lezat itu.

Begitu saya melihat penanda waktu, sekiranya jika tidak ada kendala, satu jam lagi saya sudah berangkat menuju kota tujuan. Saya sehabis percakapan imajiner, seperti orang yang ditinggalkan sendirian di tengah rimba manusia-manusia asing. Kembali duduk sendiri saja di kursi santai yang disediakan.

Sebelum saya beranjak pergi meninggalkan Bavaria sekaligus kota ini, saya mengambil kertas dari tas kecil dan mulai menulis surat kepada seorang kawan yang tinggal di Frankfurt. Rencananya surat akan dikirim keesokan hari dari kota Amsterdam. 

Kepada Alicja

Sudah aku temukan jawaban atas keresahan seorang perantau. Pesisir sejatinya menjadi tempat tinggal dengan kehidupan kolektif masyarakat dan memiliki latar belakang beragam. Kamu bisa lihat dalam catatan yang aku kirim dua bulan lalu, halaman pertama paragraf ke tiga.

Dengan mengutip seorang sastrawan besar bangsaku, Chairil – sekaligus menarasikan ulang berdasar pemahaman pribadiku. Kamu tahu, kolonialisme sekadar mempercepat kelam, sebuah situasi ketika tergantikan oleh individualistik. 

Dan pesisir telah kehilangan semua identitasnya – baik wacana sekaligus kesadaran akan sejarahnya. Industrialisasi kian semarak, pariwisata menjadi wajah baru – tradisi melebur menjadi satu dan identitas lokal pun hilang.

Kapitalisme dan hedonisme menjelma dua pasangan utuh tidak terpisahkan, melebur menjadi komoditi para warga. Bayangkan, ada seorang yang begitu rela merampok saudaranya, menjual hak milik orang lain. 

Dan itu juga terjadi di pesisir, tempat di mana uang menjelma Tuhan sekaligus orang yang memilikinya bisa mengeluarkan firman. Anak bisa menjadikan orang tuanya musuh bagi anaknya yang lain, asal kau punya uang.

Alicja, aku menemukan jawaban atas pertanyaanmu di sini, dari Bavaria ketika hari akan mengantarku menuju jantung Amsterdam, saat perjalananku tertunda karena perbaikan rel kereta. 

Bavaria, Eindhoven.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun