Mohon tunggu...
Mohamad Tamrin
Mohamad Tamrin Mohon Tunggu... Dosen - Writer | Storyteller and Traveller | Data Analyst

Writer | Storyteller and Traveller | Data Analyst

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bavaria dan Surat Balasan dari Eindhoven

29 Oktober 2021   12:24 Diperbarui: 29 Oktober 2021   12:37 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Pesisir sedang berkarat dan akan karam dimakan lumut – dihantam badai ombak. Lebih terpuruk dari segala kemungkinan keterpurukan.”

Kami berdiri, berdua saja. Tanpa basa-basi mengucap kata dan berpisah.

“Kau lihat dan saksikan dengan mata kepala sendiri betapa ekosistem sedang tidak sehat. Keruntuhan atas keangkuhan sudah bisa kau simpulkan.” Tanyanya sembari melambaikan tangan dan hilang dalam terik sekaligus keriuhan Bavaria.

Dari tempat duduk, saya membuang wajah ke arah kiri. Bunga-bunga di atas deretan meja makan yang sengaja disusun sedemikian rapi, juga yang menggantung rendah di tiang lampu. Warna dominan bunga merah menyala begitu selaras dengan wajah bangunan-bangunan kota – perpaduan fragmen warna yang hampir sama, juga pakaian para pelayan perempuan yang mengantar Waffle lezat itu.

Begitu saya melihat penanda waktu, sekiranya jika tidak ada kendala, satu jam lagi saya sudah berangkat menuju kota tujuan. Saya sehabis percakapan imajiner, seperti orang yang ditinggalkan sendirian di tengah rimba manusia-manusia asing. Kembali duduk sendiri saja di kursi santai yang disediakan.

Sebelum saya beranjak pergi meninggalkan Bavaria sekaligus kota ini, saya mengambil kertas dari tas kecil dan mulai menulis surat kepada seorang kawan yang tinggal di Frankfurt. Rencananya surat akan dikirim keesokan hari dari kota Amsterdam. 

Kepada Alicja

Sudah aku temukan jawaban atas keresahan seorang perantau. Pesisir sejatinya menjadi tempat tinggal dengan kehidupan kolektif masyarakat dan memiliki latar belakang beragam. Kamu bisa lihat dalam catatan yang aku kirim dua bulan lalu, halaman pertama paragraf ke tiga.

Dengan mengutip seorang sastrawan besar bangsaku, Chairil – sekaligus menarasikan ulang berdasar pemahaman pribadiku. Kamu tahu, kolonialisme sekadar mempercepat kelam, sebuah situasi ketika tergantikan oleh individualistik. 

Dan pesisir telah kehilangan semua identitasnya – baik wacana sekaligus kesadaran akan sejarahnya. Industrialisasi kian semarak, pariwisata menjadi wajah baru – tradisi melebur menjadi satu dan identitas lokal pun hilang.

Kapitalisme dan hedonisme menjelma dua pasangan utuh tidak terpisahkan, melebur menjadi komoditi para warga. Bayangkan, ada seorang yang begitu rela merampok saudaranya, menjual hak milik orang lain. 

Dan itu juga terjadi di pesisir, tempat di mana uang menjelma Tuhan sekaligus orang yang memilikinya bisa mengeluarkan firman. Anak bisa menjadikan orang tuanya musuh bagi anaknya yang lain, asal kau punya uang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun