Mohon tunggu...
Mohamad Tamrin
Mohamad Tamrin Mohon Tunggu... Dosen - Writer | Storyteller and Traveller | Data Analyst

Writer | Storyteller and Traveller | Data Analyst

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Suatu Hari pada Musim Panas Kota Eindhoven

24 Oktober 2021   18:38 Diperbarui: 25 Oktober 2021   21:00 905
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bavaria, salah satu restoran ramai pengunjung pada musim panas kota Eindhoven. Foto: Pribadi/Mohamad Tamrin

Saya sedang duduk sendirian di salah satu sudut Kafe yang menghadap ke hamparan sawah, bukit, juga laut lepas. Sembari memesan minuman dingin bersoda, seperti ada sesuatu yang tertinggal - sebuah perasaan yang bangkit atas kenangan tentang negeri jauh. Bersamaan dengan itu, angin terus berhembus pelan, merambatkan udara panas, membunyikan Tipe Chime yang menggantung rendah di sudut Kafe. 

Pelan namun pasti. Pikiran mulai melayang jauh menembus dimensi ruang dan waktu, menziarahi kenangan. Bersamaan dengan derap langkah kaki si pelayan Kafe yang bergegas membawa pesanan, saya pun tiba di sudut-sudut kenangan. 

Suara kereta terdengar, terik menyengat, serta kerumunan orang-orang melintasi portal jalan setelah rambu hijau menyala - semuanya seperti berkelebat dengan sejenak di sudut Kafe ini.

***

Hari kian terik ketika saya tiba di stasiun utama kota Eindoven

SUARA derit rel berhenti dan kereta penghubung antar berbagai kota di negeri kincir baru saja tiba di stasiun itu. Di kiri dan kanan stasiun, sepeda terparkir rapi, andaikan ada orang yang iseng menghitung, entah ribuan jumlahnya. 

Jika membuang pandang ke arah jauh melintasi tempat parkir, kita akan melihat deretan-deretan toko, Gang-gang kecil, monumen, juga menara katedral menjulang.

Saya terus berjalan melintasi taman, melewati portal, dan menyatu bersama kerumunan orang yang hendak menyeberang jalan ke arah Plazsa. Terik benar-benar menyengat, matahari serasa menggantung rendah di langit dan dalam sekejap keringat mengalir deras. 

Tetapi dalam batin, saya begitu menikmati perjalanan ini. Kota metropolitan merubah wajah pendatang, bunga-bunga bermekaran di taman. Kembang Celosia dan seikat Tulips warna merah menyala menjadi pengiring paling setia sekaligus penghias wajah kota.

Meskipun begitu, riuh rendah manusia  yang menolak sepi meskipun terik. Lihatlah di depan sana, restoran Bavaria - menghadirkan kesibukan para pelayan. Bangunan warna merah terang, saya melewatinya begitu saja dan tentu tanpa mampir. 

Berjalan pelan, merangsek terus melewati sepasang kekasih yang sedang memeriksa daftar menu. Aroma daging bakar yang dibawa angin menujam di hidung, membuat langkah kaki semakin berat tetapi isi kantong lebih mengerti arti dari keadaan.

Beberapa keadaan Saya abadikan dengan kamera. Seseorang sedang bermain Saxophone sebelah gedung Plazsa,  merekam orang-orang memberi tepuk tangan meriah. Pun keindahan taman serta gedung juga tidak luput.

Deretan toko di pusat kota Eindhoven, sekitar lima belas menit dari stasiun pusat. Foto: Pribadi/Mohamad Tamrin
Deretan toko di pusat kota Eindhoven, sekitar lima belas menit dari stasiun pusat. Foto: Pribadi/Mohamad Tamrin

Dalam bayangan diri sendiri yang baru saja tiba untuk pertama kali setelah penerbangan dari Katowice. Kota ini serupa taman indah - lengkap dengan kesibukan, perasaan, seni, dan segala yang tidak bisa direkam kata-kata. Tetapi semuanya tidak seperti di pesisir yang ditumbuhi Keranji, angin laut, dan debur ombak yang memiliki ritme begitu-begitu saja sepanjang waktu.

Eindhoven adalah hasil persetubuhan pemikiran manusia, kemajuan teknologi, singkatnya peradaban maju yang dipuja-puja. Sedang pesisir, masih murni kreasi semesta.

Saya seperti mengigau sembari menikmati perjalanan. Meskipun di lain kesempatan saya mengutuk masa lalu tentang penjajahan panjang - sebuah penindasan kemanusiaan yang sukar dimaafkan apalagi melupakan.

Sebelum langkah kaki berhenti di depan katedral, rombongan anak-anak kecil berjejar rapi, mengantre seperti kerbau dicucuk hidungnya - satu komando menunggu perintah. Mereka adalah siswa taman kanak-kanak yang sedang melakukan kunjungan ke beberapa museum kota, juga perpustakaan.

Perasaan lega juga terbayarkan. Kedatangan di Kota Eindhoven sebelum berangkat menuju Amsterdam memberikan kesan mendalam. Menyaksikan dunia anak-anak, riuh-rendah para pejalan kaki, tata letak kota yang menawan, juga gedung-gedung tertata sangat rapi.

Dari posisi saya berdiri, di depan sana ada dua menara gereja menjulang dengan gagah. Begitu lengang, hanya ada tiga orang paruh baya sedang duduk dan saling membelakangi. Satu membaca buku, dua lainnya seperti merapal doa-doa. 

"Apa lagi yang dicari selain hal baru yang terlepas dari dirinya?"_ Saya terus bertanya sembari merenung.

Di kampungku pesisir yang sepi, ada gemuruh adzan dari Toa. Sedang di sini - suara lonceng melengking dari menara

Katedral, Restoran Indonesia, dan deretan toko sebelum menuju halaman depan Katedral. Foto: Pribadi/Mohamad Tamrin
Katedral, Restoran Indonesia, dan deretan toko sebelum menuju halaman depan Katedral. Foto: Pribadi/Mohamad Tamrin

Akhirnya, saya duduk saja di dekat altar taman di atas kursi panjang yang terbuat dari kayu - taman yang menghadap ke arah stasiun. Sesekali melihat layar handphone memeriksa penanda waktu. Dan satu jam lagi jadwal kereta menuju Amsterdam akan tiba.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun