Saya sedang duduk sendirian di salah satu sudut Kafe yang menghadap ke hamparan sawah, bukit, juga laut lepas. Sembari memesan minuman dingin bersoda, seperti ada sesuatu yang tertinggal - sebuah perasaan yang bangkit atas kenangan tentang negeri jauh. Bersamaan dengan itu, angin terus berhembus pelan, merambatkan udara panas, membunyikan Tipe Chime yang menggantung rendah di sudut Kafe.Â
Pelan namun pasti. Pikiran mulai melayang jauh menembus dimensi ruang dan waktu, menziarahi kenangan. Bersamaan dengan derap langkah kaki si pelayan Kafe yang bergegas membawa pesanan, saya pun tiba di sudut-sudut kenangan.Â
Suara kereta terdengar, terik menyengat, serta kerumunan orang-orang melintasi portal jalan setelah rambu hijau menyala - semuanya seperti berkelebat dengan sejenak di sudut Kafe ini.
***
Hari kian terik ketika saya tiba di stasiun utama kota Eindoven
SUARA derit rel berhenti dan kereta penghubung antar berbagai kota di negeri kincir baru saja tiba di stasiun itu. Di kiri dan kanan stasiun, sepeda terparkir rapi, andaikan ada orang yang iseng menghitung, entah ribuan jumlahnya.Â
Jika membuang pandang ke arah jauh melintasi tempat parkir, kita akan melihat deretan-deretan toko, Gang-gang kecil, monumen, juga menara katedral menjulang.
Saya terus berjalan melintasi taman, melewati portal, dan menyatu bersama kerumunan orang yang hendak menyeberang jalan ke arah Plazsa. Terik benar-benar menyengat, matahari serasa menggantung rendah di langit dan dalam sekejap keringat mengalir deras.Â
Tetapi dalam batin, saya begitu menikmati perjalanan ini. Kota metropolitan merubah wajah pendatang, bunga-bunga bermekaran di taman. Kembang Celosia dan seikat Tulips warna merah menyala menjadi pengiring paling setia sekaligus penghias wajah kota.
Meskipun begitu, riuh rendah manusia  yang menolak sepi meskipun terik. Lihatlah di depan sana, restoran Bavaria - menghadirkan kesibukan para pelayan. Bangunan warna merah terang, saya melewatinya begitu saja dan tentu tanpa mampir.Â
Berjalan pelan, merangsek terus melewati sepasang kekasih yang sedang memeriksa daftar menu. Aroma daging bakar yang dibawa angin menujam di hidung, membuat langkah kaki semakin berat tetapi isi kantong lebih mengerti arti dari keadaan.
Beberapa keadaan Saya abadikan dengan kamera. Seseorang sedang bermain Saxophone sebelah gedung Plazsa, Â merekam orang-orang memberi tepuk tangan meriah. Pun keindahan taman serta gedung juga tidak luput.
Dalam bayangan diri sendiri yang baru saja tiba untuk pertama kali setelah penerbangan dari Katowice. Kota ini serupa taman indah - lengkap dengan kesibukan, perasaan, seni, dan segala yang tidak bisa direkam kata-kata. Tetapi semuanya tidak seperti di pesisir yang ditumbuhi Keranji, angin laut, dan debur ombak yang memiliki ritme begitu-begitu saja sepanjang waktu.
Eindhoven adalah hasil persetubuhan pemikiran manusia, kemajuan teknologi, singkatnya peradaban maju yang dipuja-puja. Sedang pesisir, masih murni kreasi semesta.
Saya seperti mengigau sembari menikmati perjalanan. Meskipun di lain kesempatan saya mengutuk masa lalu tentang penjajahan panjang - sebuah penindasan kemanusiaan yang sukar dimaafkan apalagi melupakan.
Sebelum langkah kaki berhenti di depan katedral, rombongan anak-anak kecil berjejar rapi, mengantre seperti kerbau dicucuk hidungnya - satu komando menunggu perintah. Mereka adalah siswa taman kanak-kanak yang sedang melakukan kunjungan ke beberapa museum kota, juga perpustakaan.
Perasaan lega juga terbayarkan. Kedatangan di Kota Eindhoven sebelum berangkat menuju Amsterdam memberikan kesan mendalam. Menyaksikan dunia anak-anak, riuh-rendah para pejalan kaki, tata letak kota yang menawan, juga gedung-gedung tertata sangat rapi.
Dari posisi saya berdiri, di depan sana ada dua menara gereja menjulang dengan gagah. Begitu lengang, hanya ada tiga orang paruh baya sedang duduk dan saling membelakangi. Satu membaca buku, dua lainnya seperti merapal doa-doa.Â
"Apa lagi yang dicari selain hal baru yang terlepas dari dirinya?"_ Saya terus bertanya sembari merenung.
Di kampungku pesisir yang sepi, ada gemuruh adzan dari Toa. Sedang di sini - suara lonceng melengking dari menara
Akhirnya, saya duduk saja di dekat altar taman di atas kursi panjang yang terbuat dari kayu - taman yang menghadap ke arah stasiun. Sesekali melihat layar handphone memeriksa penanda waktu. Dan satu jam lagi jadwal kereta menuju Amsterdam akan tiba.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H