Mohon tunggu...
Mohamad Gozali
Mohamad Gozali Mohon Tunggu... Guru - Pendidik di Madrasah Ibtidaiyah

Di dalam sejuta wajah, terpikat keunikan luar biasa. https://bangsaremukan.blogspot.com https://antiquecarcorner.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Membunuh Imajinasi Liar

2 Februari 2024   08:57 Diperbarui: 2 Februari 2024   09:09 445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber gambar: imajinasi AI

Ketika Pendidikan Formal Membatasi Kreativitas Siswa

Imajinasi adalah kekuatan tak terbatas yang mampu membawa manusia ke tempat-tempat yang belum pernah mereka jelajahi sebelumnya. Namun, ironisnya, dalam sistem pendidikan formal, kita sering kali menyaksikan bagaimana imajinasi liar seorang siswa dikekang dan dimatikan oleh tuntutan kurikulum yang menekankan pada kebenaran yang konkret dan riil.

Siswa-siswa di sekolah sering kali dipaksa untuk membatasi dunia imajinasi mereka hanya pada apa yang bisa diukur, diuji, atau dievaluasi. Kreativitas dianggap sebagai hal yang di luar jangkauan dan dianggap kurang penting dalam pembentukan pikiran mereka. Seiring waktu, imajinasi yang liar dan bebas perlahan-lahan terkikis oleh tekanan akademis yang terus bertambah.

Pendidikan formal pada dasarnya memiliki tujuan mulia untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan yang berguna dalam kehidupan sehari-hari dan di tempat kerja. Namun, ironinya, pendidikan yang terlalu terfokus pada pengajaran konsep-konsep yang konkret dan terukur sering kali mengorbankan ruang bagi imajinasi liar anak-anak.

Sebagai contoh, bayangkan seorang siswa bernama Ali. Sejak kecil, Ali memiliki imajinasi yang liar dan tak terbatas. Dia senang memikirkan tentang dunia fantasi, menjelajahi planet asing, dan bertemu makhluk-makhluk ajaib. Namun, begitu Ali masuk ke dalam sistem pendidikan formal, imajinasinya mulai terkekang.

Dia diberitahu bahwa yang penting adalah mengingat fakta-fakta dan angka-angka, bukan membiarkan imajinasinya melayang. Dia harus mengikuti kurikulum yang ketat dan mempersiapkan dirinya untuk ujian yang akan menilai apakah dia mampu mengingat informasi yang diajarkan dengan tepat.

Imajinasi Ali lambat laun menjadi hal yang dihukum. Ketika dia berusaha menyelami cerita-cerita fiksi atau memikirkan solusi kreatif untuk masalah-masalah yang kompleks, dia sering kali diingatkan untuk "kembali ke buku pelajaran" atau "fokus pada hal-hal yang lebih penting."

Akibatnya, Ali dan teman-temannya semakin merasa bahwa dunia imajinasi adalah dunia yang tidak relevan, bahkan di luar ruang kelas. Mereka lebih memilih untuk mematuhi aturan yang ada dan memperdalam pengetahuan yang diajarkan tanpa bertanya-tanya atau mencoba sesuatu yang baru.

Namun, dalam proses ini, apa yang sering kali terlupakan adalah bahwa imajinasi adalah aset berharga yang dapat membantu seseorang berkembang menjadi pemecah masalah yang kreatif dan inovatif. Dunia terus berubah, dan sering kali solusi untuk masalah-masalah baru tidak dapat ditemukan dengan hanya mengandalkan pengetahuan yang ada. Kreativitas dan imajinasi memainkan peran penting dalam menghasilkan ide-ide baru dan menemukan cara-cara baru untuk mengatasi tantangan.

Pendidikan formal seharusnya menjadi tempat yang memelihara dan merayakan imajinasi anak-anak, bukan mematikannya. Guru dan kurikulum harus memberikan ruang bagi siswa untuk bermimpi, bereksperimen, dan menjelajahi gagasan-gagasan baru. Mereka harus mendorong kreativitas, mengajarkan siswa untuk berpikir di luar batas-batas yang ada, dan memperluas pandangan mereka tentang dunia.

Kita perlu merombak pendekatan pendidikan kita agar lebih inklusif terhadap imajinasi dan kreativitas siswa. Ini bukan hanya tentang mencetak generasi yang mampu menghafal informasi, tetapi tentang menciptakan individu yang memiliki kemampuan untuk berpikir secara kritis, bertanya-tanya, dan menemukan solusi-solusi baru untuk masalah-masalah kompleks yang akan mereka hadapi di masa depan.

Jika kita ingin menciptakan dunia yang penuh dengan inovasi dan kemajuan, kita harus memulai dengan membebaskan imajinasi generasi mendatang dari belenggu pendidikan formal yang terlalu membatasi. Mereka adalah ahli waris kita, dan imajinasi mereka adalah kunci untuk membuka pintu-pintu menuju masa depan yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun