Dalam sunyi dan gelapnya malam, hati ini tetap merenungkan nasib para guru honorer yang telah terperangkap dalam belitan kegelisahan dan pengharapan yang terus-menerus bergulir seperti ombak menghantam pantai. Sepuluh tahun lamanya aku menghirup pahit getir menjadi seorang guru honorer, mengajarkan ilmu demi masa depan generasi bangsa, tapi entah mengapa, terasa seperti langit-langit tak pernah mau membuka pintu untuk mencurahkan sinar keadilan bagi mereka yang dengan setia berjuang dalam kesederhanaan.
Meskipun kini aku telah menjadi ASN PPPK, tetapi tak pernah hilang rasa simpati dan keprihatinan terhadap teman-teman sesama guru honorer. Menjadi seorang pendidik adalah panggilan jiwa, dan mereka rela menorehkan bekas jejak perjuangan yang panjang, bahkan bertahun-tahun, dengan imbalan gaji yang tak sepadan.
Berat memang menjadi seorang guru honorer, harus menghadapi gaji yang sedikit sekali, tak mampu menyambungkan ujung kebutuhan di rumah tangga, bahkan sekadar biaya transportasi menuju sekolah terasa seperti gunung yang harus dipanjat. Terkadang terasa hampir mustahil untuk mencukupi kebutuhan dengan gaji yang seadanya. Tak jarang, guru honorer harus berusaha mencari pekerjaan tambahan di luar jam mengajar demi mencukupi hidup.
Di negeri ini, penghargaan terhadap guru nampak terlalu cekak. Jarak antara guru PNS dan honorer jelas terlihat, namun takdir tanggung jawab yang harus diemban oleh keduanya sama beratnya. Di sekolah, tak ada perbedaan antara guru honorer dan PNS dalam hal waktu hadir. Guru honorer hadir setiap hari dengan jam mengajar yang sama dengan rekan-rekan PNS.
Namun, kadang rasanya seakan peran mereka hanya sebatas pelengkap derita belaka. Ketika sekolah membutuhkan guru honorer, mereka dipekerjakan. Namun ketika ada guru baru dengan status PNS atau PPPK yang masuk, guru honorer harus siap-siap untuk mengalah. Sudah menjadi takdir pahit bahwa guru honorer harus berpisah dan merelakan posisinya ketika ada guru baru yang mengisi kekosongan.
Pemerintah berusaha mengangkat guru honorer menjadi PPPK, tapi terkadang proses perekrutan itu sendiri terkesan kurang konsisten. Dari awal perekrutan hingga tahap-tahap berikutnya, ada saja hambatan dan kesulitan yang membingungkan para guru honorer. Beberapa dari mereka terpaksa menyesuaikan langkah dan strategi, namun tetap tak kunjung mendapatkan kejelasan akan masa depan mereka. Masih ada banyak guru honorer yang telah dinyatakan lulus, tapi tidak mendapatkan kuota pengangkatan sebagai PPPK, dan harus sabar memikul beban sebagai guru honorer.
Dahulu, terdengar kabar baik dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim, yang mengumumkan rencana merekrut 1 juta guru. Harapanku sebagai guru honorer pun tumbuh bak tunas di musim semi. Namun kenyataan menyayat hati, impian itu hanya sekadar khayalan semu. Rencana perekrutan itu mengalami kendala dan perubahan jadwal yang terus-menerus mundur, menimbulkan kekecewaan dan kesangsian.
Semua persoalan ini membangkitkan prasangka publik atas ketidaksiapan pemerintah menuntaskan masalah guru honorer. Alih-alih mendapat kepastian menjadi PPPK, justru banyak di antara mereka yang pada awalnya digaji daerah harus menerima kenyataan pahit diberhentikan secara sepihak dan dikembalikan ke sekolah-sekolah dengan tidak jelasnya penggajian.
Beruntunglah, perekrutan PPPK tahun ini telah berlangsung meskipun belum seluruh daerah mengeluarkan Surat Keputusan. Setidaknya ada sinar harapan yang menghampiri para guru honorer yang telah berjuang keras dan lulus seleksi.
Sebagai sosok yang menyaksikan perjalanan panjang para guru honorer, aku merasa relevansi kebijakan menjadi kunci penting untuk mengubah nasib mereka. Perlindungan hukum, kesejahteraan ekonomi, pengakuan profesional, dan keterjaminan kerja adalah poin-poin penting yang harus diperhatikan. Kebijakan yang relevan akan memberikan perlindungan hukum yang adil, mengakui peran penting guru honorer, meningkatkan kesejahteraan ekonomi mereka, serta memberikan jaminan kerja yang stabil.
Biarlah kebijakan-kebijakan itu menjadi sinar harapan yang menerangi kegelapan perjalanan para guru honorer. Semoga suatu hari nanti, guru honorer tak lagi menjadi sebatas harapan yang tak terwujud, tetapi menjadi pahlawan-pahlawan tanpa tanda jasa yang menerangi dunia pendidikan dengan cahaya kebijaksanaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H