Mohon tunggu...
Moh Alvian
Moh Alvian Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sengketa Tanah Petani Dusun Karang Baru Desa Silo Jember

23 Februari 2017   22:04 Diperbarui: 23 Februari 2017   22:29 1119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karang baru adalah sebuah dusun yang masuk dalam wilayah Desa Silo kecamatan Silo + 30 km – arah timur laut dari kota Jember. Dusun tersebut adalah areal Hutan tropis yang bersatu dengan kawasan Meru Betiri. Menurut pengakuan penduduk... setempat, pada tahun 1917 kawasan hutan tersebut dilakukan pembabatan seluas +82 ha peruntukannya digunakan sebagai lahan pertanian. Untuk mengelola tanah tersebut pemerintah Kolonial Belanda melalui Camat, (plopas) mantri polisi dan Pak Tinggi (Kepala Desa) mencari penduduk yang fakir dan miskin dari Desa Silo, Pace, Sumberjati, Garahan dan Karang Harjo sebanyak 80 orang untuk mengelola dan memanfaatkan tanah seluas tersebut. 

Dengan dibukanya areal hutan tersbut serta datangnya penduduk baru di daerah ini yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya dusun karang baru tersebut. KRONOLOGIS SENGKETA TANAH. Keluarnya Pethok dan surat Pipil ( Pajak ) Dengan diberikanya hak pakai dan kelola kepada 80 warga diatas, tanah seluas 82 ha di bagi masing-masing 1 ha setiap warga / orang, dengan asumsi seperempat hektar untuk pekarangan tiga perempat untuk lahan tegalan (pertanian). Pembagian tersebut terjadi pada tahun 1942, ketika pemerintah Kolonial Belanda masih berkuasa diatas republik ini. Selama 11 tahun lebih setelah pembagian tanah tersebut, ketika revolusi fisik terjadi untuk memperebutkan dan mempertahankan kemerdekaan, petani (80 orang tersebut) memanfaatkan lahan untuk kegiatan pertanian tanpa mendapat gangguan dari siapapun. M

Mulai tahun 1954, Pemerintahan mengeluarkan surat ketetapan untuk membayar pajak sebesar Rp,- 7 ( tujuh rupiah ) setiap tahunnya. Setiap warga menerima surat ketetapan tersebut, dan pembayaran pajak oleh warga efektif berjalan selama lima tahun. Pada awal tahun 1954, Pak tinggi ( P. Atun) dan Pak Carik (sekretaris desa) P. Asmui dengan alasan mau memperbaharui surat tersebut, seluruh surat yang berada di tangan warga dikumpulkan ( ditarik ) dan sampai hingga kini tidak pernah dikembalikan lagi kepada warga. Inilah yang menjadi awal persoalan sengketa tanah di karang baru. Masuknya Perhutani ke lahan sengketa Pasca penarikan surat tersebut, pada awal th 1960 Perhutani bersama polisi beserta P. Tinggi dan P.Carik mendatangi warga, serta memaksa warga untuk menanam pohon jati an lamtoro. Pada saat itu warga masih mengelola lahan, walaupun tidak membayar pajak. 

Intimidasi yang dilakukan oleh Perhutani dan aparat pemerintah, rakyat terpaksa-mau tidak mau – menurutinya, walaupun sebenarnya tidak setuju dengan penanaman pohon tersebut. Ini terbukti dari sikap warga yang siangnya mau menanam bibit jati dan lamtoro, namun malam harinya di bantu bini(wanita/istri), mereka mencabuti kembali tanaman tersebut. Karena warga merasa haknya telah direbut pihak lain dengan paksa. Menurut saksi mata yang masih hidup hingga saat ini, akibat tindakan ini, 9(sembilan) orang warga dusun Karangbaru di tangkap oleh pihak aparat (polisi). Mereka adalah P. Bakar, B. Bakar, P. Tijan, P. Sutian, P. Sia, B.Sutian, Bu Modi (anak dari P/B Sutian), dan P. Miskun (ayah saksi mata). Kesembilan orang tersebut ditahan selama 2 bulan di tempat terpisah, ada yang di Mayang, Kalisat dan di Jember. Merka di tangkap dengan tuduhan telah melakukan pengrusakan terhadap lahan milik Perhutani.

Setelah keluar dari tahanan, mereka kembali ke dusun Karangbaru. Perlawanan Warga Terhadap Perhutani Kejadian diatas adalah bentuk perlawanan pertama terhadap Perhutani. Setelah kejadian pertama tersebut, masalah bukannya makin reda justru semakin memanas. Ini terjadi ketika polisi menangkap 62 orang warga termasuk yang baru saja keluar dari penjara. Selama menunggu proses persidangan, ke 62 orang tersebut di kurung di dalam satu sel selama 45 hari. Salah satu warga yang ditangkap adalah saksi mata dan masih hidup dalam perisitiwa penangkapan tersebut. Selama di dalam sel tersebut, warga dipaksa untuk menanam jati dan lamtoro. Warga yang ditangkap tersebut di ajukan ke pengadilan dengan tuduhan yang sama pula, yaitu melakukan pengrusakan tanaman. 

Dalam persidangan tersebut setiap warga diberi (telah disediakan sebelumnya) bibit jati/lamtoro dari polisi sebagain barang buktinya, hal ini dilakukan di bawah ancaman senjata api dan popornya. Sedangkan masalah tanah di peirsidangan tersebut sama sekali tidak di sentuh. Saat itu tak satupun ada pihak yang mau membela, Pak Tinggi dan perangkatnya entah pergi kemana?, dan akibatnyapun cukup fatal, mereka di vonis 3 bulan di potong masa tahanan.Pulang dari tahanan ke 62 orang, tidak memiliki pekerjaan yang tetap. Karena lahan tersebut kemudian di gunakan sepenuhnya untuk kepentingan perhutani, yaitu di tanami jati dan lamtoro. 

Dengan melakukan intimidasi kembali, warga diperingatkan untuk tidak menyentuh lahan milik perhutani. Sejak peristiwa penangkapan kedua ini, warga banyak yang merantau pekerjaan, buruh dan pekerjaan lainya ( serampangan). Dan tidak ada perlawanan lagi selama Soeharto berkuasa di rezim otoriter Orba. Paska runtuhnya kekuasaan Soeharto inilah kemudian muncul beberapa masalah baru di tanah sengketa Karangbaru.

Peristiwa pembabatan hutan Jati milik Perhutani. Seiring dengan adanya ‘demam’ reformasi pada tahun 1998, yaitu dengan dibukanya kran kebebasan seluas-luasnya telah dimanfaatkan secara keliru oleh masyarakat luas. Ini bisa dilihat dalam peristiwa pembabatan hutan jati milik Perhutani, masa (bukan warga karang baru) secara bergelombang membabati hutan jati yang siap tebang. Dan tak satu pohonpun yang tersisa, malah areal lahan yang terbukamenjadi lebih lebar. Datangnya masa yang bergelombang membuat takut petugas untuk bersikap tegas.

 Sehingga mereka dengan leluasa menjarah tanpa halangan dari siapapun, bahkan ada indikasi orang dalam yang terlibat dalam penjarahan tersebut. Akibat sungguh mengenaskan, tanah seluas 62 Ha lebih menjadi gundul karena tidak ditanami apapun. Kekosongan inilah yang kemudian di manfaatkan oleh petani yang memiliki hak atas tanah tersebut. Yaitu dengan menanami jagung, tembakau dan tanaman lain yang menunjang ekonomi warga. Tuntuntan Warga Karangbaru dan Sikap Perhutani. Saat ini, tanah seluas 82 ha kemudian dibagi menata menurt ahli waris pemilik tanah terdahulu. 

Jumlah warga Karanangbaru sekarang sekitar 200 kk mereka menuntut kejelasan status tanah mereka. Sementara itu pihak Perhutna, bersikeras akan menanam kembali poho Jati dan Lemtoro di lahan tersebut. Serta menyarankan kepada warga Karangbaru untuk mengelola kawasan Hutan Lindung yang berbukit dan tebing-tebing yang curam. Kondsi hutan lindung terebut juga telah gundul dan gersang akibat di babat dan di bakar oleh massa. 

Lahan hutan lindung yang gundul ini kemudian di manfaatkan oleh para pendatang baru, bahkan sudah di patok atau kotak-kotak masyarakat. Indikasi yang tidak sehat kemudian munvul dan tangkap oleh kalangan warga Karangbaru, yaitu sebenarnya Perhutani berniat mengadu-domba warga Karangbaru dengan masyarakat yang saat ini menguasai hutan lindung. Terbukti dengan saran Perhutani kepada warga Karangbaru untuk memanfaatkan hutan linfdung yang jelas-jelas masuk kawasan konservasi. Serta dibalik itu, Perhutani ingin menguasai kembali lahan sengketa di atas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun