Dalam dunia politik, isu larangan kampanye oleh pejabat pemerintahan sebelum berakhir masa jabatan atau cuti merupakan topik yang hangat untuk dibahas. Apalagi mendekati tahun-tahun politik seperti saat ini. Sudah bukan rahasia lagi, atau bahkan dijadikan sebuah budaya baru dalam bingkai politik negeri ini. Di mana etika dan batasan dalam politik sudah bukan patokan utama dalam menjalankan proses demokrasi yang baik.
Padahal larangan kampanye sebelum berakhir masa jabatan atau cuti oleh pejabat pemerintahan merupakan langkah penting untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan dan memastikan kompetisi politik yang adil sekaligus memastikan bahwa pejabat pemerintahan fokus pada pelayanan masyarakat tanpa adanya pengaruh politik yang mempengaruhi keputusan mereka.
Alasan lain mengapa pejabat dilarang kampanye sebelum berakhir masa jabatan atau cuti. Yaitu karena para pejabat yang masih menjabat memiliki akses terhadap sumber daya dan kekuatan institusi yang dapat mereka manfaatkan seperti memiliki akses ke dana publik, fasilitas, dan kekuatan keputusan yang dapat digunakan untuk keuntungan politik pribadi. Hal ini dapat mengganggu prinsip integritas, netralitas, dan kesetaraan dalam kompetisi politik.Â
Oleh karena itu, banyak negara, termasuk Indonesia, menerapkan larangan kampanye tersebut sebagai bagian dari upaya menjaga etika dan batasan dalam jabatan pemerintahan.
Sesuai Undang-undang tentang pemilu Pasal 208 ayat (2) berbunyi: Gubernur beserta jajarannya juga tidak diperbolehkan untuk mengikuti masa kampanye tanpa mengajukan cuti terlebih dahulu.Â
Ketentuan dalam menggunakan fasilitas negara juga diatur dalam Pasal 281 ayat 1 UU Pemilu tentang kampanye yang dihadiri presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota dan wakilnya beserta jajarannya tidak boleh memakai atau memanfaatkan fasilitas dari negara yang diperoleh karena jabatannya untuk berkampanye.
Dengan demikian seharusnya dijadikan acuan bagi pejabat pemerintah untuk menahan diri akan ambisi mereka untuk mendeklarasikan atau meng kampanyekan diri sebelum waktunya. Namun jika melihat fakta  saat ini. Malah bertolak belakang dengan apa yang sudah saya bahas diatas. Terlebih jika berbicara etika dan batasan dalam pesta demokrasi yang akan datang.
Terlebih saat ini sudah banyak cara agar tidak termasuk dalam katagori Undang-undang Pemilu Pasal 208 dan 281 tersebut. Salah satunya dikemas dengan acara halal bihalal pejabat pemerintah dengan mengundang seluruh elemen masyarakat atau membuat sebuah event dengan tema merawat nusantara dengan mengundang artis dan public figur lainnya. Sedangkan pemeran utamanya adalah mereka yang mau menyalonkan diri dalam kontes demokrasi pemilu ditahun 2024 mendatang.
Sebenarnya kita sudah mencoba untuk berpikir positif soal itu. Namun, jika hal tersebut berulang-ulang dan statusnya masih pejabat public dan acara itu bukan di daerahnya sendiri. Kan itu menimbulkan tanda tanya besar. Apalagi inisiatif acara atau event tersebut adalah salah satu komunitas pendukungnya. Eh kok ini malah kemana mana ya. Kembali ke topik utama dalam etika dan batasan.
Dampak Penyalahgunaan Kekuasaan dalam kampanye politik
Penyalahgunaan kekuasaan dalam kampanye politik memiliki implikasi yang buruk sekaligus merugikan baik bagi proses demokrasi maupun bagi masyarakat secara umum.Â
Penyalahgunaan kekuasaan dalam kampanye politik seringkali melibatkan manipulasi opini publik. Politisi yang memanfaatkan sumber daya dan kekuasaan mereka dapat mengendalikan media massa seperti buzzer, menyebarkan informasi palsu, atau menggunakan propaganda untuk mempengaruhi pandangan masyarakat. Hal ini mengurangi kualitas debat publik yang sehat dan mencegah masyarakat dari mendapatkan informasi yang objektif.
Seperti yang kita tahu, dalam skala pesta demokrasi peran media massa juga berpengaruh secara signifikan dalam preferensi publik dalam menentukan keputusan. Hal itu sudah banyak dalam beberapa tahun terakhir ini. Bahkan dibeberapa kasus, buzzer di akomodir untuk membuat framing positif dan menggiring opini public untuk menerima sebuah keburukan dijadikan suatu yang baik.
Selain itu, penyalahgunaan kekuasaan dalam kampanye politik dapat menciptakan ketidakpercayaan terhadap institusi politik dan pemimpin. Ketika politisi tidak bertindak secara etis dan memanfaatkan posisi mereka untuk keuntungan pribadi, masyarakat cenderung kehilangan kepercayaan pada sistem politik secara keseluruhan utamanya terhadap penyelenggara pemilu (KPU). Ini dapat menghambat partisipasi politik dan mengurangi rasa tanggung jawab politisi terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
Polemik netralitas dalam penyelenggaraan pemilu merupakan pengalaman penting dalam menjaga kemandirian dan profesionalitas dalam pelaksanaan tahapan Pemilu kedepan. Oleh karena itu, sudah seharusnya para pejabat publik saat ini sadar diri dan lebih melek soal etika dan batasan dalam proses kampanye yang memang belum waktunya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H