Oleh: Moh Afif Sholeh
 Goresan tinta hitam yang dulu dianggap sepele, sekarang sangat menentukan eksistensi seseorang, organisasi maupun legalitas sebuah bangunan. Disebuah desa kecil ada sebuah Masjid sederhana yang kini dipugar menjadi sebuah toko klontong. Hal ini berawal dari salah satu ahli waris menggugat ke Pengadilan, bahwa tanah yang dijadikan Masjid merupakan bukan tanah wakaf, karena tidak ada surat yang menjelaskan tentang status wakafnya.
"Aduh... ahli waris Haji Paijan memang keterlaluan, Tanah Masjid yang sudah diwaqafkan oleh orang tuanya, kini digugat kembali."keluh kesah Pak RT terhadap warganya.
"Iya Pak RT, sungguh keterlaluan mereka, Cuma tidak ada hitam diatas putih saja, waqaf orang tuanya di gugat, padahal dulu saya menjadi saksi pewakafan tanah itu, dan beliau masih dalam keadaan sehat. Emang saat itu belum dikenal tradisi tulis menulis sebuah perjanjian atau nota kesepakatan sebuah akad. Sehingga sekedar ucapan dan ada saksinya saja."tutur salah satu warga RT.
"Sungguh keterlaluan pokoknya orang itu."Pak RT sambil mengelus dada.
Kemudian salah satu ahli waris menyewa pengacara kondang untuk memenangkan gugatannya, melawan warga yang telah membangun masjid sebagai tempat ibadah mereka. Akhirnya dalam persidangan mereka memenangkan tanah sengketa itu, penolakan oleh warga selalu dihalau oleh pihak berwajib yang telah dibayar olehnya, sehingga aktifitas di Masjid itu sudah tidak ada lagi, warga sangat terpukul dengan kejadian ini, sampai ada warga yang mendoakan agar penggugat itu terkena balasannya karena berani mengambil alih tanah wakaf orang tuanya.
"Mudah-mudahan orang itu terkena musibah." Ekspresi kekesalan salah satu warga.
"Bang, doanya jangan begitu, tapi minta dimudahkan urusan masalah ini."tutur Ustadz Udin.
"Iya Pak Ustadz, maaf saya terlalu kesal dengan orang itu.
"Benci dengan orang wajar, tapi jangan keterlaluan, karena akan berdampak kepada diri kita juga."Nasihat bijak  Pak Ustadz kepada warganya.