Mohon tunggu...
Moh Afif Bjbr
Moh Afif Bjbr Mohon Tunggu... Mahasiswa - 20 yo student

still learning to write

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Apakah Keluarga Bisa Dikatakan Rumah?

27 Desember 2021   12:59 Diperbarui: 6 Juli 2022   00:18 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Rumah yang disebut sebagai tempat ternyaman untuk kembali pulang nyatanya tak selalu seperti itu. Ada sebuah pepatah berbahasa inggris yang mengatakan seperti ini, "house is not always a home" pepatah ini secara sederhana memiliki makna sebuah bangunan rumah tak selalu menjadi tempat untuk pulang. 

Kata "House"  dalam bahasa inggris berarti rumah dalam bentuk yang terstruktur, sedangkan "home" berarti rumah yang bersifat abstrak yang tak selalu menunjukkan sebuah ruang melainkan hanya berisi kenangan yang entah manis atau pahit. Seorang anak bertahan dalam sebuah bangunan sejak ia masih bayi sampai beranjak dewasa. Pastinya, mereka akan menetap di tempat itu selama puluhan tahun.

Bicara soal kenyamanan dalam rumah tak selalu membahas soal mewah atau tidaknya. Entah dia memakai lantai keramik atau lantai yang beralaskan tanah, entah di kamar menggunakan AC atau kipas angin. Ada hal lain yang lebih utama menjadi tolak ukur kenyamanan seorang anak dalam rumahnya. 

Lalu apakah itu? mereka yang menghuni tempat itu yakni orang-orang yang tinggal dan hidup bersama. Hidup bersama selama berpuluh puluh tahun tidak menjamin semua orang akan terbiasa dengan sifat masing-masing penghuni di rumah itu. Perlu kita pahami bahwa memiliki keluarga yang harmonis adalah salah satu privilege yang menguntungkan bagi setiap insan di bumi ini. 

Namun bagi seorang anak yang baru saja lahir di dunia, tentunya dia tak akan mengetahui apapun tentang keluarga yang akan dia miliki nantinya. Ini menandakan bahwa seorang anak tidak pernah dan tidak akan pernah bersalah ketika dia memiliki keluarga yang tidak harmonis.

Terlepas dari agama, sesungguhnya seorang anak lahir tanpa persetujuan dari dirinya sendiri. Mereka tak bisa memilih keluarga seperti apa yang mereka inginkan kelak ketika hidup di dunia nantinya. Sebaliknya orang tua, dapat menentukan apakah mereka akan punya anak atau tidak, mereka akan menjadi orang tua seperti apa nantinya, dan mampu memprediksi bagaimana kehidupan anaknya kelak yang dilihat dari kesiapan finansial orang tua tersebut. Belakangan ini kita melihat isu "childfree" yang sedang naik daun. Perlu dipahami terlebih dahulu, childfree adalah keputusan seseorang untuk tidak memiliki anak entah mereka menikah atau tidak. 

Di beberapa kalangan masyarakat di Indonesia, pandangan hidup seperti ini tentunya masih menjadi sebuah kontra yang besar. Berbeda dengan negara luar, seperti Jepang, childfree adalah hal yang sangat wajar bahkan dilakukan oleh sebagian besar pasangan suami istri disana. Ada beberapa alasan mengapa beberapa orang memilih untuk childfree semasa mereka hidup, ada yang ingin memprioritaskan karir, ada yang tak suka anak kecil, dan ada pula yang tak siap dengan tanggung jawab untuk membesarkan anak baik secara mental ataupun finansial.

Perlu diketahui pilihan untuk memiliki anak juga tak kalah penting untuk dipertimbangkan. Ada banyak pasangan suami istri yang memiliki anak tanpa persiapan yang matang. Semestinya pasangan suami istri harus mempertimbangkan kematangan mereka baik dari segi finansial, fisik, mental, dan parenting skill untuk memilih memiliki anak. Jika mereka tidak mempertimbangkan hal tersebut, maka sudah pasti berbagai masalah keluarga akan muncul dan berujung perceraian. 

Terlebih lagi pandemi seperti ini membuat banyak kondisi finansial keluarga hancur sehingga berujung perceraian karena tak mampu untuk menafkahi keluarga. Maka kita seharusnya tak perlu heran jika beberapa orang memberikan standar finansial saat ingin menikah. Hal tersebut tidak lain dan tidak bukan bertujuan untuk menghindari ketidakstabilan finansial saat menjalankan kehidupan rumah tangga.

Selain daripada kondisi finansial yang tidak stabil, masalah mental anak usia dini yang telah menikah juga kerap menjadi masalah. Menurut penulis sendiri, psikis anak-anak usia dini bukan hanya tak siap menikah tetapi juga tak siap memiliki anak. Apalagi biasanya beberapa anak usia dini dinikahkan karena perkara hamil di luar nikah tanpa mengetahui beratnya tugas melahirkan dan merawat anak. 

Pada umumnya anak-anak remaja biasanya masih mencari jati diri sehingga ingin selalu mencoba banyak hal yang mereka inginkan. Pada tahap ini mereka masih memiliki rasa penasaran yang tinggi dan belum ada keseriusan dalam menjalin hubungan. Sering kali kasus perselingkuhan terjadi karena para remaja masih ingin berkenalan ataupun menjalin hubungan dengan lawan jenis yang lain.

Melihat berbagai permasalahan yang hadir dalam keluarga, sudah sepatutnya para orang tua harus bijak dalam menyikapi masalah tersebut. Orang tua yang tidak harmonis tentunya dapat membuat anak-anak tak nyaman sehingga mereka mencari kesenangan di luar rumah. Hal ini lah yang kemudian bisa merusak kehidupan anak. Kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua,membuat anak-anak akan merasa bebas untuk melakukan apapun yang mereka inginkan karena merasa orang tua mereka tidak peduli dengan apa yang akan mereka lakukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun