Stigma
Stigma sering disebut dengan istilah yang lain, yaitu stempel, tuduhan, cap, yang dilekatkan pada seseorang/organisasi. Stigma memudahkan kita untuk menyimpulkan atau mengambil tindakan, tetapi diwaktu lain menjerumuskan kepada suatu sikap atau tindakan yang salah. Stigma akan membentuk frame, kerangka (atau kerangkeng ?) berpikir kita. Ibarat sebuah peta, jika kita bisa mengatakan bahwa letak suatu lokasi yang kita cari di jalan Ahmad Yani maka kita akan mudah mencari lokasi itu. Tetapi jika kita salah mengidentifikasi (misalkan yang kita sangka berada dilokasi A Yani ternyata di Jl Urip Sumoharjo) maka seumur hidup tidak akan pernah ketemu dengan lokasi itu.
Stigma terbentuk karena kesamaan ciri atau kemiripan yang akhirnya kita katakan sebagai in grup, dalam istilah statistika disebut dengan clustering. Benda/orang/obyek yang kita identifikasi mempunyai kesamaan dengan kumpulan benda/orang/obyek maka kita anggap benda/orang/obyek itu “pantas” untuk dijadikan satu kumpulan/kelompok.
Stigma lahir seringkali untuk tujuan simplifikasi, kemalasan berfikir, “kebodohan”, atau keengganan untuk mencari kebenaran karena merasa diri sudah benar dan sempurna walaupun tidak mau mengakui secara dhahir(lisan/tulisan) = sombong (lihat definisi sombong menurut hadits). Kadangkala orang melahirkan stigma didorong karena kegagalannya melihat intisari masalah, lebih melihat baju daripada isi kepala, melihat kulit dibandingkan isi, melihat atribut dibandingkan esensi. Tempo doeloe seseorang bisa dengan mudah dicap sebagai anti-pemerintah jika melakukan kritik terhadap pemerintah. Kritikan dipandang sebagai penentangan bukan upaya perbaikan, agar kebijakan atau aturan lebih sesuai dengan amanat para pejuang kemerdekaan. Tidak setuju terhadap saya berarti anti-pemerintah. Saya adalah negara. Syndrom membesarkan “aku” berhubungan erat dengan syndrom stigmaisasi. Memandang Aku sebagai sebuah kebenaran sedangkan lawanku (bukan partner diskusi lagi) adalah kelompok orang yang menentang kebenaran. Aku adalah orang yang berilmu sedangkan lawanku kumpulan orang bodoh. Pendapatku merupakan pendapat para ahli sedang orang yang menentangku cuma mahasiswa. Pendapatku berdasarkan Kitab yang benar sedang lawanku tidak punya dasar kecuali mengakal-akali. Pendapatku berdasarkan sejarah yang telah terbukti sedang lawanku hanya hipotesis dan dari realitas yang gagal.
Kalau kita mau sedikit berpikir, sebenarnya sangat mudah untuk melihat secara fokus apa yang menjadi tema atau bahasan suatu pembicaraan/tulisan. Mengapa orang tidak setuju ? Dimana letak persamaan dan perbedaannya ? Apa argumentasinya ? Apakah pendapat saya yang kurang argumentatif ataukah pendapat saya dipahami dengan pengertian lain ? Instropeksi semacam itu lebih penting daripada menanyakan : orang yang tidak setuju dengan pendapat saya ini dari kelompok mana ya ? punya maksud apa kok tidak setuju terhadap kebenaran yang saya tuliskan ? apakah orang ini beriman ? tipu daya apa yang dilakukan untuk menghalangi perjuangan membela kebenaran yang saya lakukan ?
Marilah kembali ke realitas, batasi diskusi hanya pada topik. Jangan sangkut pautkan dengan tujuan penulisan, latar belakang penulis, atau yang lainnya yang kadang-kadang mengaburkan masalah.
Klaim
Kalau ini nih merupakan kebalikan dari Stigma. Klaim merupakan bentuk ketidakberdayaan dan rendah diri alias minder atawa tidak percaya diri. Seseorang/kumpulan orang mengklaim/mengaku dari kelompok/komunitas tertentu untuk meng-upgrade citra bahwa seseorang/kumpulan orang tersebut memang benar-benar memiliki sifat/keadaan sesuai dengan yang dicitrakan. (Walaupun saya lebih suka melihat dengan sangka baik bahwa penamaan/pencitraan itu sebagai upaya memotivasi diri agar sesuai dengan citranya). Klaim seringkali pada hal-hal baik, walaupun adakalanya orang yang “sakit” akan mengklaim dengan hal-hal buruk seperti, seorang preman menjuluki dirinya rajatega agar orang-orang takut, jangan-jangan orang tersebut akan melakukan apa saja jika keinginannya tidak terpenuhi. Seseorang dengan mudah mengaku sebagai intelektual, pemikir, golongan anu, kelompol ini dan sebagainya karena dengan melakukan itu akan terangkatlah derajatnya. Tetapi pentingkah itu ? sekali lagi klaim hanyalah kulit. Abdullah bin Ubay bin Salul mengklaim sebagai mukmin, bahkan matinya pun ditutupi dengan selendang Rosul, tetapi sejatinya gembong munafik. Abdullah bin Ubay bin Salul merupakan salah satu contoh orang yang mementingkan klaim daripada realitas.
Realitas
Ali bin Abi Thalib ra mengatakan “seorang pemuda adalah orang yang berani mengatakan :Inilah saya, bukan Inilah bapak saya”. Masih disebut anak-anak bagi siapa saja yang beraninya berlindung dibawah ketiak “bapak”. Bapak dalam pengertian luas adalah organisasi, kumpulan, komunitas, dan apa saja sehingga dengan itu merasa lebih tinggi daripada kualitas diri sebenarnya. Sehingga kita bisa tuliskan :
“Inilah saya, bukan Inilah organisasi saya”
“Inilah saya, bukan Inilah kenalan-kenalan saya orang top”
“Inilah saya, bukan Inilah universitas saya”
“Inilah saya, bukan Inilah parpol saya”
“Inilah saya, bukan ……………………………………” silakan diteruskan.
Beranikah menanggalkan semua atribut dan baju dengan mengedepankan diri kita ? Bukan jamannya lagi klaim dan stigma.
Terakhir saya sitirkan kata mutiara yang isinya dalam dan sering ditulis oleh almarhum Prof Riswanda Imawan, kurang lebih “Burung Elang selalu terbang sendirian”.
Ditulis kembali dari email saya di mailing list mahasiswa sebuah PT.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H