Mohon tunggu...
Moh Rudi
Moh Rudi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pedagang buku yang senang menulis dan jalan-jalan

Pedagang buku yang senang menulis dan jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Aku, Buku, dan Kurir Paket Itu

24 Juli 2024   21:55 Diperbarui: 26 Juli 2024   09:36 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku, Buku, dan kurir paket itu


Oleh M. Rudi

"Buku memberiku banyak hal, teman, saudara, sedikit uang untuk hidup, dan juga cinta"


Kalimat di atas kerap saya ulang-ulang dalam tulisan / status saya di media sosial. Rangkaian kalimat yang memang menggambarkan perjalanan hidup saya yang tak lepas dari buku selama puluhan tahun. 

Saya adalah pecinta buku yang juga sekaligus hidup darinya. Kok bisa? Iya, saya adalah pecinta buku yang kemudian memilih profesi sebagai pedagang buku. Profesi yang menurut Richard Oh, seorang Sutradara film, kepada saya bertahun silam, sebagai profesi yang tak akan menjadikanmu kaya raya. 

Richard Oh bukan tanpa alasan mengatakan itu, selain dikenal sebagai seorang Sineas, Richard juga dikenal luas sebagai pemilik toko buku QB, toko buku yang banyak menjual buku-buku import dan menggabungkannya dengan Kafe dan perpustakaan. 

Tak sampai disitu, Richard juga membuat lini penerbitan buku yang menerbitkan banyak buku bergenre sastra. Dia bukan cuma seorang pebisnis buku, tapi sekaligus juga seorang penulis. Lengkap sudah, Richard Oh benar-benar mencintai buku hingga ke tulang sumsumnya.

Apa yang dikatakan Richard tadi jelas sudah dipahaminya dengan baik. Dia seorang penulis, memiliki penerbitan, toko buku, hingga perpustakaan.  Ketika Richard mengatakan hal itu, saya sendiri sesungguhnya juga sudah memahaminya. 

Jika di ibaratkan sebuah jalan, buku memang tak serupa jalan raya yang ramai, profesi penjual buku adalah jalan setapak yang sunyi, sebuah profesi yang jelas tak akan mampu membuatmu membeli Lambhorgini. 

Hidup adalah pilihan, kata orang, celakanya saya memilih melangkah di jalan setapak sunyi seperti yang saya sebut tadi. Memilih tidak menjadi kaya jelas bukan cita-cita, semua orang ingin menjadi kaya, saya hanya merasa tak berbakat menjadi kaya, itu saja. Sejak dulu saya hanya ingin melakukan pekerjaan yang benar-benar saya suka dan nikmati.

Saya adalah anak kampung di pinggiran Cirebon, dimana tradisi membaca bahkan bersekolah, pada masanya dianggap bukan hal yang terlalu penting. Pendidikan formal saya tak sampai tamat SD, saya hanya melalui pendidikan sederhana di Pesantren tradisional, namun begitu saya senang membaca sejak kecil. 

Entah mengapa, sejak remaja kemudian pekerjaan yang saya inginkan hanyalah memiliki sebuah toko buku, tidak pernah lebih dari itu. Tak ada modal, jalan setapak yang harus saya lalui bahkan seperti hutan yang belum terjamah manusia. 

Saya harus menerabas membuat jalur sendiri di belantara untuk menuju puncak Merapi. Tak ada parang ditangan, cuma ada sepasang tangan untuk merambas semak berduri, senjata satu-satunya hanya detak jantung dan keberanian.

Saya memulainya dari lapak rongsokan. Di lapak rongsokan tak hanya ada tumpukan besi berkarat, onggokan karung karung dekil berisi botol bekas air kemasan, panci penyok, tumpukan kardus menggunung berikut gerobak butut yang belakangan banyak di modifikasi, tak lagi bertenaga manusia, tapi sepeda motor butut dikanibal dan dikawinkan sedemikian rupa, hingga gerobak dan pembawanya terlihat lebih bergengsi menjalankan profesinya. 

Di lapak rongsokan itu juga sering terdapat buku bekas, buku-buku itu dibuang atau ditukar abu gosok oleh pemiliknya. Di lapak rongsokan itu lah saya memilah-milah buku dan majalah dalam karung, mencari buku atau majalah yang  layak daras kembali.

Saya menjajakan buku dan majalah bekas dari lapak rongsokan itu di stasiun-stasiun KRL, berbaur dengan ratusan pedagang kaki lima dan pengasong kereta yang dulu ramai pada masanya. Menjadi pedagang kaki lima adalah gambaran nyata "Orang pinggiran" dalam lagu Iwan Fals. 

Terlihat menyedihkan, tapi entah mengapa saya dulu sangat menikmatinya. Saya menikmati berjualan sambil melahap dagangan saya sendiri. Saya yang tak mengenyam pendidikan formal dengan baik, di lapak kaki lima jadi membaca banyak hal. 

Saya berkenalan dengan Pramoedya Ananta Toer, yang mengajak saya bertualang dalam "Bumi manusia" hingga "Rumah kaca", Rendra dan puisi-puisinya, Seno gumira ajidarma dengan kisah-kisahnya yang ajaib. Di kaki lima saya banyak memasuki lorong waktu dalam teks sejarah, manusia, budaya dan peradabannya.

Ketika berdagang kaki lima di Stasiun itu, saya kerap memikirkan bagaimana caranya bisa berjualan dengan lebih nyaman. Saya terus menerus memikirkan bagaimana caranya memiliki sebuah kedai buku, modal tak ada, penghasilan menjual buku bekas pun tak seberapa. B

utuh bertahun-tahun menabung uang sekedar untuk menyewa sebuah tempat kecil saja. Menjadi pedagang kaki lima bukan cuma perkara meruntuhkan gengsi, tapi orang juga harus berurusan dengan segala bentuk upeti, yang tiap hari dikutip preman penguasa lahan. Uang keamanan, entah mengapa dulu saya merasa itu adalah dua kata yang kadang membuat saya tertawa.

Masa itu KRL belum sebagus sekarang, masih ada KRL ekonomi dengan pintu yang selalu terbuka dimana pada jam kerja ribuan penumpang berjejalan, tak cuma dalam gerbong, tapi hingga ke atap dan sambungan kereta. 

Entah bagaimana, saat itu saya sudah berpikir bahwa kelak KRL Jabodetabek akan mengalami perubahan yang cepat, bukan keretanya, melainkan sistem atau perwajahannya. 

Saya berpikir bahwa kelak tak akan ada lagi pedagang asongan dan kaki lima, bahkan kereta ekonomi yang dipenuhi tak cuma penumpang, tapi juga pengasong, pengemis, pengamen dan lain sebagainya itu juga akan hilang. Bagaimana nasib pedagang kaki lima seperti saya? 

Dikemudian hari saya tak menyangka, pemikiran ini rupanya benar-benar menjadi kenyataan. Dua atau tiga tahun setelahnya, secara bertahap, perubahan di Stasiun ternyata benar-benar terjadi. P.T. KAI melakukan perbaikan pelayanan dengan menertibkan seluruh pedagang liar di areal Stasiun, tak cuma Jabodetabek, tapi hingga seluruh Jawa. Tak ada lagi Kereta ekonomi dengan pintu terbuka dan penumpang membeludak hingga ke atapnya. Tak ada lagi pedagang asongan, pengamen, pengemis, hingga karcis KRL yang mirip kartu gaple. Lalu bagaimana nasib saya?

Keingintahuan saya pada banyak hal secara tidak langsung menyelamatkan saya. Sepulang berjualan seorang teman mengajak saya ke sebuah warnet, bukan untuk belajar tentang internet, melainkan hanya untuk mengajari saya belajar  menulis dengan komputer. 

Pada masa itu, warnet dan wartel masih menjadi primadona, facebook belum menggurita dan netizen pada masanya adalah mereka yang tiap hari gemar mengotak-atik Freindster dan berselancar di mIRC, Kaskus dan Chatroom Yahoo.

Di bilik warnet itu lah, saya yang awalnya hanya ingin belajar menulis dengan komputer malah berlanjut berkenalan dengan dunia maya. Dunia yang membuat saya takjub karena bisa berbincang dengan orang di berbagai pelosok dunia hanya dengan duduk manis saja. 

Saya ingat, bemail pertama saya dibuatkan oleh penjaga warnet. Saya jadi benar-benar keranjingan internet. Gawai pandai belum sesemarak sekarang, kuota seluler adalah barang mewah. Jika bosan di chatroom Yahoo, saya mengotak-atik Freindster lalu mulai berkenalan dengan Blogspot.

Saya cukup sering membaca blog-blog berisi tulisan orang, lalu dari sana pula saya tahu bahwa orang bisa juga  berjualan di internet. Saya seolah menemukan jalan keluar yang selama ini saya pikirkan. Saya iseng memajang buku di Blogspot, tak banyak, mungkin 10 eksmplar saja, itu pun buku motivasi yang biasa di obral lima atau 10 ribuan. 

Sementara itu aktifitas berjualan kaki lima di Stasiun masih saya kerjakan. Keisengan ini ternyata membuahkan hasil, beberapa bulan kemudian ternyata buku yang iseng saya pajang di blog ada yang membeli. Meski harganya tak seberapa, pembeli pertama itu benar-benar memotivasi. Dari sini lah saya mulai berkenalan dengan agen kurir pengantar barang. Transaksi pertama saya dikirim lewat JNE.

Saya memulai toko buku online benar-benar tak ada yang mengajari, saat itu meski sudah mulai dikenal namun pasar daring belum sesibuk dan seramai sekarang. 

Seingat saya itu tahun 2006. Marketplace sudah ada, namun masyarakat Indonesia belum optimal menggunakannya. Internet saat itu hanya banyak digunakan kalangan menengah, mahasiswa dan orang kantoran saja. Masyarakat Indonesia, secara umum, benar-benar melek internet ketika mulai muncul Smartphone, ini pun pada awalnya digunakan hanya keperluan media sosial seperti Facebook. 

Peran gawai pintar yang menyematkan aplikasi media sosial berperan sangat besar sekali sebagai batu loncatan. Ketika masyarakat lapisan bawah, mulai dari tukang becak, pedagang pasar hingga kuli bangunan memiliki ponsel pintar, secara perlahan mereka pun mengakses internet. 

Dimulai dari sekedar iseng bersosial media, perlahan-lahan mereka mulai bertransaksi di dunia maya. Sekarang, orang sudah terbiasa berbelanja daring. Internet pada akhirnya menjadi salah satu kebutuhan pokok yang harus dikeluarkan setiap bulan.

Toko buku online yang saya rintis pelahan memiliki kemajuan luar biasa. Pada awalnya saya tetap berdagang kaki lima, namun pelahan demi pelahan berjualan kaki lima saya tinggalkan. Saya fokus berjualan secara daring, baik di media sosial atau kemudian marketplace. J

ika awalnya hanya menempati kamar kost, saya kemudian memutuskan menyewa rumah petak, semula saya menggabungkannya dengan tempat tinggal, tapi kemudian saya menyewa rumah kontrakan khusus untuk buku sekaligus tempat bekerja. 

Warnet pun pelahan saya tinggalkan, saya memutuskan membeli sebuah laptop untuk bekerja setelah seorang anggota DPR membeli sejumlah buku bekas yang langka dengan nominal cukup besar.

Buku pada akhirnya bukan sekedar hobi dan pekerjaan. Pada tahun 2018, Lombok pernah diguncang gempa besar. Saya ingin membantu tetapi tak punya uang, satu-satunya yang saya punya adalah buku. 

Saya iseng melelang sebuah buku koleksi saya di Facebook, sebuah buku sastra karya Jose Rizal yang cukup langka, Noli Me Tanggere. Awalnya saya mengira buku itu laku di lelang hanya seratus dua ratus ribu saja. 

Diluar prediksi, ternyata ada banyak pedagang buku bekas yang membantu. Mereka memberi suport dengan memberi buku-buku bonus untuk pemenang lelang. Lelang buku ini ternyata tembus di angka 2,5 juta. Buat orang lain, nominal itu mungkin kecil, tapi untuk saya yang hanya penjual buku bekas, ini adalah luar biasa. 

Melihat antusias teman-teman pedagang dan pecinta buku, akhirnya saya memanfaatkan energi positif itu agar tak menguap begitu saja. Saya memutuskan membuat lelang buku kedua dan mendapatkan respon yang sama. Akhirnya uang terkumpul sekitar 5 juta Rupiah dan hasilnya saya berikan langsung pada seorang teman asli Lombok untuk disalurkan. 

Lelang buku semacam ini kemudian saya lanjutkan, antara lain ketika gempa besar melanda Palu-Donggala, lelang ini mendapat perhatian tak cuma dari pecinta buku Indonesia, melainkan juga pecinta buku negeri jiran. Melihat saya dan teman melakukan lelang untuk kemanusiaan, pecinta buku di Malaysia menghibahkan buku-buku Pram yang langka untuk di lelang, mereka juga membantu dalam bentuk uang.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi


Tak cuma untuk bencana, saya juga pernah melelang buku koleksi pribadi untuk membantu seorang Sastrawan yang dimeja hijaukan, ada juga lelang buku untuk kawan Seniman yang sakit, terakhir saya dan teman melakukan lelang pada awal pandemi Covid 19. 

Hasil lelang saya bagikan pada orang-orang yang saat itu tak bisa bekerja. Saya menceritakan ini bukan untuk bertujuan riya, tapi sekedar menginspirasi, bahwa meski mungkin kita tak punya uang untuk membantu, kita bisa membantu dengan cara apa saja, termasuk melelang buku bekas tadi.

Agen pengiriman JNE tentu saja adalah mitra terbaik, seingat saya, sejak berjualan daring  tahun 2006 hingga 2024, saya tak pernah bermasalah dengan kurir ini. Pengalaman barang hilang hanya terjadi ketika saya mengirim paket lewat kurir lain. 

JNE memiliki banyak agen yang cenderung mudah ditemui ketimbang agen pengiriman lainnya. Lewat JNE, saya mengirim paket buku tak cuma pulau Jawa, tapi hingga Papua, Malaysia dan Singapura. 

Pasar daring yang ramai saat ini, membuat JNE menjadi salah satu perusahaan yang membuka peluang dunia kerja di Indonesia. Silahkan dihitung sendiri, ada berapa ribu tenaga kerja yang diserap JNE, mulai dari tenaga kurir, pengemudi dan lain sebagainya. 

Ribuan masyarakat Indonesia terselamatkan oleh musuh besar bernama pengangguran. Semua berhak bekerja dan berbahagia. Hingga saat ini, meski penjualan buku tengah lesu, saya memutuskan tetap bertahan menjadi pedagang buku.


"Buku memberiku banyak hal, teman, saudara, sedikit uang untuk hidup, dan juga cinta"

M. Rudi

Jakarta, 24/07/2024

 #JNE#ConnectingHappiness#JNE33Tahun#JNEContentCompetition2024#GasssTerusSemangatKreativitasnya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun