Mohon tunggu...
Moh Rudi
Moh Rudi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pedagang buku yang senang menulis dan jalan-jalan

Pedagang buku yang senang menulis dan jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dan di Kafe Itu, Setumpuk Buku Tampak Kesepian

31 Januari 2021   13:59 Diperbarui: 31 Januari 2021   14:12 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

~Dan di Kafe itu, setumpuk buku tampak kesepian~

Oleh M. Rudi

Beberapa tahun lalu, saya pernah menulis sebuah tulisan yang dimuat disebuah portal toko buku yang juga memuat tulisan-tulisan menarik, baik itu esei, cerpen, puisi dan resensi. Tulisan itu saya beri judul "Buku bekas dan senjakala kertas", tulisan ini sudah dibaca lebih 2500 kali, setidaknya itulah yang terlihat melalui situsnya.

Tulisan itu idenya muncul selepas saya memenuhi undangan sebagai pembicara salah satu komunitas sastra di Cirebon. Acara malam itu digelar disebuah Kafe, pengunjung yang datang lumayan banyak, namun ada satu hal yang menarik perhatian saya. 

Di Kafe itu saya melihat tumpukan buku yang sudah dimakan rayap, yang sepertinya memang sengaja dipajang sedemikian rupa menjadi seperti sebuah seni instalasi. 

Saya melihat ada sesuatu yang disampaikan. Setumpuk benda yang ingin mengabarkan pesan. Tumpukan buku dimakan rayap itu terus menerus mengganggu pikiran saya hingga kembali ke Jakarta, lalu akhirnya muncul lah tulisan "Buku bekas dan senja kala kertas" itu.

Belakangan saya kembali digelisahkan oleh tutupnya sejumlah media cetak, mereka semua beralih menjadi media daring untuk menyesuaikan perkembangan zaman. Dari lapak buku bekas, saya juga mendapat informasi bahwa di lapak-lapak rongsokan kertas koran mulai langka. Saya jadi teringat paragraf terakhir tulisan saya "Buku bekas dan senjakala kertas".

"Tumpukan buku dimakan rayap yang dipajang di tengah kafe itu mungkin semacam pertanda, sebuah senjakala, ia bisa jadi bukan lagi sekadar bentuk kegelisahan. Internet menyuguhkan nyaris apa saja, berita dan informasi banyak beralih pada layar ponsel kita. 

Pelaku industri buku beberapa mulai berkemas lalu bergegas. Beberapa kawan mulai memindai buku-buku langkanya, ada yang dijual atau dibagi atas nama cinta. Entah berapa puluh tahun lagi, mungkin anak cucu kita hanya akrab dengan buku digital atau buku elektronik, manusia tentu harus selalu siap beradaptasi dengan perubahan. 

Buku cetak mungkin akan tetap ada, ia akan tetap menjadi sesuatu yang seksi, tak masalah apa pun medianya, di atas batu, kulit binatang, daluang, lontar atau apa saja, yang penting orang tetap belajar dan membaca. Dan di kafe itu setumpuk buku tampak kesepian, rayap membantu menyelesaikan nasibnya"

Era kertas tentu saja belum sepenuhnya ditinggalkan. Kertas masih memiliki peran penting menunjang aktifitas peradaban. Tak cuma urusan dokumen, buku bacaan pun begitu, masih ada banyak sekali orang yang lebih memilih buku fisik ketimbang ebook. Mungkin kelak akan datang suatu masa manusia tak butuh kertas, tapi saya pikir ini masih cukup lama, kita masih dalam tahap fase peralihan menuju era itu.

Sebagian memang sudah mulai beralih pada internet, membaca berita, belajar, aktifitas bekerja, mengirim lamaran dan lain sebagainya, tapi kertas belum sepenuhnya ditinggalkan. 

Saya melihat bahkan banyak sekali para orang tua mengeluh terkait belajar daring anak mereka akibat pandemi. Ini membuktikan bahwa kita memang belum benar-benar siap. Belajar daring pada kenyataannya tak semudah seperti ketika para orang tua ber'Haha-hihi' narsis di jejaring sosial media. Kita butuh waktu beradaptasi.

Kita mungkin tak tahu, bahwa di Indonesia ada banyak pejuang literasi. Saya punya beberapa teman yang membuat usaha warung kopi atau Kafe yang juga menghadirkan buku-buku bacaan.

 Ada yang menggunakan angkot, motor, perahu bahkan sampai pedati dan kuda. Taman-taman baca masyarakat dibanyak pelosok daerah masih giat berjuang dengan pelbagai cara, membuka cakrawala pengetahuan anak bangsa. 

Jika anda tak percaya, silahkan kunjungi group pustaka bergerak dikomandani kawan saya, Nirwan Arsuka. Buku atau media cetak masih merupakan media penting dalam dunia ilmu pengetahuan. Kita hanya perlu bersiap, beradaptasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun