~Kecurangan Pandawa~
 Oleh M. Rudi
Dalam epos Mahabharata yang terkenal itu, mungkin banyak orang mengira bahwa kemenangan Pandawa adalah kemenangan tanpa kecurangan dan taktik licik sama sekali. Pandawa digambarkan sebagai pihak tertindas oleh rivalnya, para Kurawa, yang notabene adalah para sepupunya sendiri. Gambaran pihak tertindas diperkuat jumlah 5 lawan 100 orang. Ini belum lagi ditambah dengan banyaknya cerdik cendikia, sakti mandraguna dipihak Kurawa, baik yang benar-benar ksatria seperti Bhisma, Prabu Salya, Resi Dorna, atau sejenis bedebah macam Sengkuni.
Kemenangan Pandawa dalam kisah Mahabharata, sesungguhnya sudah di desain sedemikian rupa sejak lama oleh para Dewa, paling berperan disana tentu saja adalah Dewa Wisnu yang menitis dalam diri Sri Kresna. Desain sudah dirancang jauh sebelum perang besar antar saudara terjadi di lapangan Kurusetra. Kematia para tokoh besar Kaum Kuru pun banyak berkait erat pada peristiwa dan dendam kesumat masa lalu. Bhisma dan Resi Dorna yang memiliki tingkat kesaktian tak terkalahkan, ditaklukkan oleh tokoh-tokoh yang sesungguhnya biasa saja.
Jika kita membaca komik Mahabharata gubahan R.A. Kosasih yang legendaris itu, kita bisa dengan mudah melihat bahwa kecurangan dan kelicikan sesungguhnya tidak di dominasi kaum Kurawa saja. Pandawa pun melakukan hal itu. Contoh pertama mungkin apa yang terjadi pada Ekalaya, seorang raja yang sanggup membunuh Arjuna. Ekalaya membunuh Arjuna bukan tanpa sebab, melainkan akibat kesalahan besar Arjuna sendiri. Arjuna hendak mengawini isteri Ekalaya ketika meminta pertolongan Arjuna disebuah hutan. Isteri Ekalaya sampai hendak bunuh diri terjun ke jurang namun diselamatkan seorang Dewi yang kebetulan adalah ibunya.
Ekalaya sosok ksatria yang memiliki kepandaian tinggi, ketika muda ia pernah berniat belajar pada Resi Dorna namun ditolak karena Resi Dorna telah bersumpah tak akan mengangkat murid selain Pandawa dan Kurawa. Keinginan Ekalaya belajar pada Resi Dorna begitu tinggi, hingga meski pun ditolak akhirnya ia memutuskan untuk belajar sendiri. Ekalaya bahkan sampai membuat patung Dorna yang diletakkan ditempat ia berlatih sendiri itu. Hal ini ia lakukan agar ia selalu merasa tengah dilatih oleh sang guru yang sangat diinginkannya, yaitu Resi Dorna.
Ekalaya kemudian mampu menguasai ilmu memanah setara dengan Resi Dorna dan murid-muridnya yang sah. Kepandaian ini kemudian diketahui oleh Dorna dan para muridnya (Pandawa dan Kurawa). Resi Dorna berang, lalu dengan tipu dayanya ia berhasil meminta Ekalaya memotong dua ibu jarinya sebagai tanda penghormatan orang yang dianggap guru, meski kenyataannya Dorna tak pernah mengajarkan apa-apa. Ekalaya tak menyadari, tanpa ibu jari, dia tak bisa maksimal menggunakan ilmu memanahnya yang setara dengan Dorna mau pun murid-muridnya. Meski diperlakukan seperti itu, Ekalaya tetap menghormati Resi Dorna, bahkan ia kerap membawa patung Dorna kemana ia pergi, bahkan sampai ia sudah menjadi raja.
Ketika Arjuna kalah tanding dan gugur melawan Ekalaya, Sri Kresna menghidupkannya kembali dengan bunga Wijayakusuma yang dimilikinya. Â Tetapi setelah hidup kembali, Arjuna bukan menyadari kesalahannya, ia malah menginginkan Ekalaya mati karena merasa malu pernah dikalahkan bahkan mati oleh Ekalaya.Â
Sri Kresna menuruti kemauan Arjuna, titisan dewa Wisnu ini menganggap bahwa Arjuna lebih penting hidup dari pada Ekalaya. Tapi membunuh Ekalaya pun bukan hal mudah karena Arjuna sendiri pernah kalah tanding bahkan terbunuh olehnya. Sri Kresna pun tak bisa secara langsung membunuhnya karena hal itu tentu saja akan menjatuhkan wibawanya. Akhirnya diputuskan berlaku curang. Politik tingkat tinggi dimainkan.
Kelemahan Ekalaya adalah terlalu memuja guru fiktifnya, Resi Dorna yang hanya berbentuk patung. Cincin ampal pusat kesaktian Ekalaya dilepas atas permintaan patung yang tiba-tiba bisa berbicara, yang berbicara sesungguhnya adalah Sri Kresna.
Ekalaya akhirnya terbunuh dan sebuah pisau diletakkan disamping tubuhnya untuk mengesankan ia bunuh diri. Menyaksikan hal itu, Isterinya tercinta pun ikut bunuh diri.
Ironisnya, pembunuhan dilakukan Sri Kresna dan Arjuna itu, justru terjadi ketika Ekalaya dalam perjalanan ke Hastina, berniat hendak meminta maaf dan menjelaskan latar belakang terbunuhnya Arjuna pada pihak Hastina, kerajaan Pandawa.
Kecurangan kedua pihak Pandawa adalah apa yang terjadi pada Adipati Karna. Selain Ekalaya, yang mampu membunuh Arjuna adalah Adipati Karna. Trik dilakukan pada Karna bukan cuma terjadi ketika pecah perang Bharatayuda, melainkan sudah terjadi jauh sebelum itu. Karna adalah putera tertua dewi Kunti, saudara paling tua para Pandawa, ia adalah putera Bhatara Surya yang lahir dari telinga, itu sebabnya ia diberi nama Karna. Akibat merasa malu memiliki anak diluar perkawinan, Karna yang masih bayi dihanyutkan ke sungai lalu ditemukan dan dirawat keluarga seorang kusir kuda Kurawa.
Sejak bayi, Karna sudah dibekali sebuah baju perang sakti yang menempel dalam tubuhnya dan tak bisa ditembus senjata apa pun. Baju Tamsir itu diberikan oleh ayahnya, dewa surya. Tak ada yang bisa melepas baju itu bahkan para dewa. Baju Tamsir ini hanya bisa lepas atas keinginan Karna sendiri. Dengan tipu daya, baju perang ini bisa diambil oleh seorang dewa, tetapi Karna meminta ganti sebuah senjata sakti, yaitu Konta. Senjata sakti satu ini mampu membunuh siapa pun, bahkan termasuk para dewa, tetapi kelemahan senjata ini adalah ia hanya bisa digunakan satu kali saja. Ketika pecah perang Bharatayudha, senjata maut ini dipersiapkan oleh Adipati Karna untuk membunuh Arjuna.
Senjata konta mematikan itu lah yang paling dikhawatirkan penasihat perang Pandawa, Sri Kresna. Ia sendiri belum tentu mampu menghadapi senjata sakti satu itu. Disini lah politik tingkat tinggi dimainkan, karena tak ada yang bisa melawan senjata itu, artinya mesti ada yang dikorbankan. Senjata konta bisa membunuh siapa pun, tapi kelemahannya ia hanya bisa digunakan satu kali. Arjuna adalah ksatria paling penting dan amat dibutuhkan dalam Bharatayudha, tetapi senjata Konta justru diniatkan Adipati Karna untuk membunuh Arjuna, ini akan berakibat kekalahan Pandawa. Ada beberapa orang mengajukan diri sebagai tumbal, tetapi Sri Kresna kemudian memilih Gatot kaca, putera Bima.
Dalam perang Bharatayudha, Adipati Karna terus menerus mencari dan menantang Arjuna, tetapi ia disembunyikan dan dilarang Sri Kresna untuk tampil di medan laga. Jika tampil tentu saja ia akan mati. Gatot Kaca yang memang sudah dipersiapkan lah yang justru muncul menghadapi Adipati Karna. Gatot Kaca terus menerus memprovokasi Karna untuk mengeluarkan senjata Konta. Karna yang kehabisan kesabaran akhirnya mengeluarkan senjata mematikan itu, akibatnya Gatot Kaca pun gugur sebagai tumbal menyelamatkan nyawa Arjuna.
Bharatayudha adalah sebuah perang yang tak cuma terjadi antara Pandawa dan Kurawa, perang ini melibatkan negara-negara lain yang bersekutu dengan masing-masing pihak. Perseteruan sesungguhnya pun tak berhenti dengan berakhirnya Bharatayudha. Pandawa yang memenangkan perang satu persatu gugur di gunung mahameru. Kebencian dan dendam beranak pinak sampai pada keturunan dua belah pihak. Ini dapat kita simak pada lakon pewayangan pasca jaman Pandawa Kurawa.
Para keturunan Pandawa rupanya membuat semacam taman diorama berisi adegan perang Bharatayudha. Diorama itu menampilkan adegan-adegan penuh kekerasan, bahkan menampilkan bagaimana para Kurawa terbunuh. Ini pernah membuat seorang satria keturunan raja yang dulu mendukung Kurawa, mengamuk. Ksatria itu pada awalnya mengabdi pada keturunan Pandawa. Ia marah begitu melihat patung ayahnya mati mengenaskan dan digambarkan secara keji pada diorama taman tersebut.
Lucunya, keturunan Pandawa yang kewalahan menghadapi ksatria sakti murid seorang resi yang mampu menggiring seluruh binatang ke Kotaraja itu, malah minta bantuan pada arwah Arjuna. Perkelahian kemudian terjadi bukan lagi antar keturunan Pandawa dan Kurawa, melainkan antara arwah Arjuna vs resi guru ksatria tersebut.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H