Mohon tunggu...
Moh Wildan
Moh Wildan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sales Produk Kuliner

Penulis sekaligus pemasar produk

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Episode yang Tak Terbeli

29 November 2018   20:20 Diperbarui: 29 November 2018   20:30 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

ADA sebuah email dari seorang sahabat yang datang kepada saya mengenai "Kisah Sebatang Sapu Lidi" yang isinya kira-kira seperti ini:

"Tahukah kita bahwa sebatang sapu lidi lebih murah daripada seteguk air penghilang dahaga? Padahal kita tahu, ia harus dipetik dari pepohonan kelapa yang ditanam di dusun-dusun yang jauh dari kota. Itu karena ia dipetik oleh tangan-tangan kecil yang tak menuntut banyak upah. Ia pun harus diserut, dihaluskan, diikat kuat agar mudah digunakan dan tak melukai tangan.

Ia harus diangkut oleh banyak kendaraan, melewati banyak pasar, dan naik turun timbangan penawaran. Ia disusun oleh wanita atau pria yang tak menghitung laba rugi. Ia juga dipikul oleh pria-pria yang tak terlalu mengerti transaksi jual beli.

Sebatang sapu lidi itu begitu murah sampai di tangan kita, karena orang-orang itu tak menghitung jerih perih kerjanya. Mereka pun tak mengkalkulasi butir-butir keringatnya. Maka, mari kita sadari bahwa di balik kemurahan dan kemudahan yang kita alami sekarang ini, terselip cerita tentang pengorbanan yang jauh lebih berharga ketimbang harga seluruh sapu lidi yang bisa kita beli..."

Dari cerita tersebut di atas, saya sempat merenung. Pada era kompetisi dan rutinitas kerja tiada henti di saat seperti ini, masih adakah di antara kita yang ingat cerita pengorbanan yang tiada tara dari kedua orang tua kita? Pernahkah ada yang bisa mengkalkulasi berapa nilainya ? Padahal bisa dibilang, tanpa jasa dan pengorbanan mereka tidaklah mungkin kita bisa jadi seperti sekarang ini.

Banyak situasi kontradiktif yang muncul ketika kita akan muncul ke dunia. Bak sinetron, ada episode-episode kehidupan orang tua kita yang penuh perjuangan, terutama yang menyangkut kelangsungan hidup kita. Cobalah kita ingat, ketika ibu sedang mengandung; berbulan-bulan kita dibawanya ke mana-mana tanpa merasa lelah dan berat. Ke tempat kerja, ke atas bus, ke pasar,ke mall, ke dapur, ke kamar mandi, dll.

Juga munculnya perasaan yang tiada menentu, sedih, senang, kesal, depresi, tanpa bisa mengendalikannya. Tapi demi sang titipan Ilahi, ibu kita berusaha agar tetap merasa bungah hatinya agar sang jabang bayi juga ikut merasa senang. Agar sang janin tumbuh sehat dan normal sang ibu harus berpantang dengan segala perasaan negatif yang muncul.

Belum lagi kondisi yang mengharuskan sang ibu hanya makan makanan yang sehat dan minum susu hamil. Padahal rasa mual akibat meningkatnya tingkat sensitifitas sang ibu terhadap bau, makanan dan minuman seperti susu sering datang bersamaan dengan datangnya masa kehamilan. 

Berkebalikan dengan hal tersebut, jika sang ibu sakit, ia tidak bisa begitu saja mengkonsumsi obat sembarangan, harus melakukan konsultasi terlebih dahulu dengan dokter. Rasa pusing, demam, pegal linu, yang biasanya dapat hilang dengan mudah dengan obat warung, demi pertumbuhan janin yang normal, harus ditahan tanpa minum obat.

Sang ayah walau lelah setelah seharian bekerja, begitu pulang akan langsung bekerja menangani pekerjaan rumah. Atau meladeni keperluan sang ibu dan bayinya. Mendengar cerita keseharian dari sang istri sambil memijati kakinya yang lelah.

Ketika lahir, orang tua kita yang menjaga, baik saat kita jaga maupun saat tidur. Ketika tidur, tiada orang tua merasa tega seandainya ada walau cuma seekor nyamuk hinggap di kulit kita. Pasti dikejar sampai dapat dan dipukul sampai "penyet".

Bila udara terasa mulai panas, tangannya siap mengipasi wajah dan tubuh kita tanpa henti. Padahal setelah berkutat dengan pekerjaan sehari-hari, rasa kantuk pasti menyerang lebih cepat. Tapi semua seperti tidak dirasakan.

Kadangkala kita terbangun tengah malam dan menangis. Mungkin ingin minum susu, atau popok kita lembab dan berbau sehingga minta diganti. Sang ibu atau ayah akan segera bangun, menyelipkan ASI atau botol susu di mulut kita. Atau segera membuka dan mengganti popok kita. Tiada rasa sesal ataupun kesal di hati. Semua dilakukan dengan rasa ikhlas. Bahkan jika itu terjadi di tengah acara makan pun, piring berisi penuh makanan pun akan rela ditinggalkan, karena rengekan si buah hati.

Ketika besar dan saat usia sekolah, sang orang tua walau habis pulang bekerja akan rela membantu kita menyelesaikan PR yang kita tidak mengerti. Mengajari kita membaca Al-Quran dan melakukan ibadah sholat dengan harapan agar akhlak kita jadi baik dan kenal sekaligus cinta kepada Allah SWT melebihi cintanya kepada obyek yang lain. Dan itu memerlukan usaha dan kerja keras yang tiada henti.

Orang tua kita tanpa kenal lelah terus menerus membantu kita, siap sedia di samping kita, membantu kita agar mampu berdiri sendiri, tegak tanpa bantuan orang lain.

Setelah kita dewasa, kita wajib menikah dan segera dianugerahi anak. Sebagai keluarga baru kondisi keuangan biasanya masih labil. Maka tercetuslah ide, untuk "mengkaryakan" orang tuanya yang "kebetulan masih ada dan sudah pensiun" agar mau mengurus anaknya. Dan biasanya seorang kakek atau nenek biasanya sulit menolak jika ditawari untuk mengurus cucu-cucunya. Itu dikarenakan sifat dan rasa sayangnya yang luar biasa, apalagi kepada anak cucunya.

Tapi sayangnya, tanpa disadari langkah seperti itu membuka peluang bagi setan untuk menjerumuskan kita agar durhaka dengan berbuat zalim kepada orang tua. Seperti misalnya ; seringkali anak kita terjatuh tanpa sengaja, mungkin karena orang tua kita yang memang tidak sanggup terus-menerus mengikutinya. Karena memang tenaga dan stamina orang tua berbeda dengan tenaga dan stamina anak-anak. Tanpa kesabaran dan pemahaman agama yang cukup baik, seketika itu pula kita menyalahkan dan memarahi orang tua kita sendiri. Bahkan ada yang sudah sampai taraf "sadis" membentak dan memukuli orang tuanya. Persis seperti sering kita lihat pada sinetron-sinetron Indonesia belakangan ini.

Padahal Allah SWT berfirman:

"..Dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia." (QS.Al-Israa': 23)

Cobalan kita renungkan, jika adegan di dalam sinetron itu kita lakukan pula kepada orang tua kita di dalam kehidupan sehari-hari, alangkah durhaka dan berdosanya kita kepada orang tua kita.

Wallahu'alam bishshawab


Jakarta, 24 Mei 2007

Revisi : 21 Nopember 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun