ADA sebuah email dari seorang sahabat yang datang kepada saya mengenai "Kisah Sebatang Sapu Lidi" yang isinya kira-kira seperti ini:
"Tahukah kita bahwa sebatang sapu lidi lebih murah daripada seteguk air penghilang dahaga? Padahal kita tahu, ia harus dipetik dari pepohonan kelapa yang ditanam di dusun-dusun yang jauh dari kota. Itu karena ia dipetik oleh tangan-tangan kecil yang tak menuntut banyak upah. Ia pun harus diserut, dihaluskan, diikat kuat agar mudah digunakan dan tak melukai tangan.
Ia harus diangkut oleh banyak kendaraan, melewati banyak pasar, dan naik turun timbangan penawaran. Ia disusun oleh wanita atau pria yang tak menghitung laba rugi. Ia juga dipikul oleh pria-pria yang tak terlalu mengerti transaksi jual beli.
Sebatang sapu lidi itu begitu murah sampai di tangan kita, karena orang-orang itu tak menghitung jerih perih kerjanya. Mereka pun tak mengkalkulasi butir-butir keringatnya. Maka, mari kita sadari bahwa di balik kemurahan dan kemudahan yang kita alami sekarang ini, terselip cerita tentang pengorbanan yang jauh lebih berharga ketimbang harga seluruh sapu lidi yang bisa kita beli..."
Dari cerita tersebut di atas, saya sempat merenung. Pada era kompetisi dan rutinitas kerja tiada henti di saat seperti ini, masih adakah di antara kita yang ingat cerita pengorbanan yang tiada tara dari kedua orang tua kita? Pernahkah ada yang bisa mengkalkulasi berapa nilainya ? Padahal bisa dibilang, tanpa jasa dan pengorbanan mereka tidaklah mungkin kita bisa jadi seperti sekarang ini.
Banyak situasi kontradiktif yang muncul ketika kita akan muncul ke dunia. Bak sinetron, ada episode-episode kehidupan orang tua kita yang penuh perjuangan, terutama yang menyangkut kelangsungan hidup kita. Cobalah kita ingat, ketika ibu sedang mengandung; berbulan-bulan kita dibawanya ke mana-mana tanpa merasa lelah dan berat. Ke tempat kerja, ke atas bus, ke pasar,ke mall, ke dapur, ke kamar mandi, dll.
Juga munculnya perasaan yang tiada menentu, sedih, senang, kesal, depresi, tanpa bisa mengendalikannya. Tapi demi sang titipan Ilahi, ibu kita berusaha agar tetap merasa bungah hatinya agar sang jabang bayi juga ikut merasa senang. Agar sang janin tumbuh sehat dan normal sang ibu harus berpantang dengan segala perasaan negatif yang muncul.
Belum lagi kondisi yang mengharuskan sang ibu hanya makan makanan yang sehat dan minum susu hamil. Padahal rasa mual akibat meningkatnya tingkat sensitifitas sang ibu terhadap bau, makanan dan minuman seperti susu sering datang bersamaan dengan datangnya masa kehamilan.Â
Berkebalikan dengan hal tersebut, jika sang ibu sakit, ia tidak bisa begitu saja mengkonsumsi obat sembarangan, harus melakukan konsultasi terlebih dahulu dengan dokter. Rasa pusing, demam, pegal linu, yang biasanya dapat hilang dengan mudah dengan obat warung, demi pertumbuhan janin yang normal, harus ditahan tanpa minum obat.
Sang ayah walau lelah setelah seharian bekerja, begitu pulang akan langsung bekerja menangani pekerjaan rumah. Atau meladeni keperluan sang ibu dan bayinya. Mendengar cerita keseharian dari sang istri sambil memijati kakinya yang lelah.
Ketika lahir, orang tua kita yang menjaga, baik saat kita jaga maupun saat tidur. Ketika tidur, tiada orang tua merasa tega seandainya ada walau cuma seekor nyamuk hinggap di kulit kita. Pasti dikejar sampai dapat dan dipukul sampai "penyet".