Jujur saja, kesibukan bekerja dan rutinitas serba padat menumbuhkan lelah. Karena tubuh selalu membutuhkan asupan gizi relaksasi untuk mengembalikan saraf dan otot yang tegang. Salah satunya dengan mengunjungi taman. Bagaimana mewujudkan taman yang rekreatif sekaligus edukatif?
Taman identik dengan tempat yang ditanami bunga dan wahana untuk bersenang-senang, joging atau sekedar kumpul bersama keluarga. Namun dewasa ini taman mengalami konversi fungsi atau sebut saja degradasi. Seperti yang terjadi di daerahku.
Dulunya, taman adalah wahana wisata untuk masyarakat. Dalam al-Quran kata taman senantiasa beriringan dengan surga, Taman Surga. Terbersit dalam pikiran saat kosakata taman tentulah suatu tempat yang asyik-menyenangkan, tidak ada toh yang namanya taman neraka. Memang seperti itulah esensi taman.
Pemerintah sering kali mendirikan Public Space for All di kota dan tempat yang strategis untuk kenyamanan masyarakatnya. Tapi tidak diiringi dengan good management. Ujungnya taman hanya sebatas ruangan publik yang apa adanya dan minim fungsi yang kreatif dan edukatif. Lebih parahnya taman di daerahku sering kali dimanfaatkan pemuda-pemudi untuk memadu kasih, bahkan mungkin prostitusi.
Banyak bermunculan ide-ide tentang bagaimana meningkatkan fungsi taman yang smart, beauty, and elegant. Kita tengok saja sebagai komparasi taman kreatif di daerah Yogyakarta. Masyarakat umum mengenalnya dengan Taman Pintar Yogyakarta (TPY). Wahana yang menawarkan wisata plus edukasi bagi generasi penerus bangsa, mulai rentang usia pra-sekolah sampai tingkat sekolah menengah. Tapi pada praktiknya semua kalangan bisa menikmati wisata yang digagas oleh mantan Walik kota Herry Zudianto SE, Akt, MM itu.
Ketika masuk kita disodori berbagai karya yang inovatif dan teknologi-permainan yang intrested. Taman yang memiliki maskot Burung Hantu memakai Blangkon itu berusaha merangsang kreatifitas dan sikap kepo anak-anak terhadap berbagai hal. Ada Gedung Memorabilia, Gedung Oval, Gedung Playground Area dan berbagai macam. Tak hanya itu, di sini menawarkan zona unik seperti Titian Penemuan, Jembatan Sains, Indonesiaku, Penjelajah Kecil dsb.
Dengan biaya hanya Rp. 53 Milyar (harga yang murah jika pemerintah daerah serius memperbaiki pendidikan) taman pintar ini terwujud dan menjadi ikon wisata pendidikan di Yogyakarta. Dengan terwujudnya taman yang edukatif dan kreatif akan menambah masyarakat untuk tidak ‘sekedar’ datang dan duduk manis, tapi juga belajar.
Mewujudkan sebuah taman pada tataran praktisnya amat mudah. Dan sering kali kita kehilangan esensi dari taman itu sendiri. Kurang lebih ada empat wahana yang disebut ‘taman’ di daerah Jombang (Kebon ratu/Keplaksari, Kebon Rojo, Tirta Wisata dan Taman Mojoagung). Hampir semua taman tersebut kurang terurus dan minim sentuhan. Bahkan di beberapa spot taman muncul nuansa remang-remang, pas banget untuk memadu kasih.
Mirisnya, taman kerap dijadikan ajang pacaran remaja (hal ini terjadi pula di daerah lain), lebih tepatnya tempat mesum. Loh, taman ini kan untuk umum, pengunjungnya bukan remaja saja tapi juga anak-anak. Bayangkan! Jika taman yang ‘katanya’ tempat nyantai dan wahana rekreasi masyarakat harus dipenuhi dengan edukasi amoral. Justru isi taman ternodai meskipun wujudnya mampu dilestarikan.
Sudah! Tak perlu terlampau jauh melihat taman tetangga yang katanya luar biasa indah dipenuhi bunga warna-warni, tercium semerbak harumnya dan hanya ada di dunia mimpi –Gardens by the Bay- di Singapura. Pada intinya HHD (Hari habitat Dunia) tidak melulu membahas bagaimana tata letak dan konsep menciptakan taman yang glamour. Justru manajemen untuk visitors seharusnya mendapat perhatian yang lebih.
Dari pengamatan sejenak, pemerintah mestinya meminimalisir spot atau zona remang-remang yang berpotensi untuk dijadikan tempat pacaran atau mesum. Taman juga bisa diisi dengan wahana dan alat peraga yang edukatif-positif, seperti Taman Pintar Yogyakarta.