Menurut Ulil, ayat dan hadist tidak bisa langsung menyelesaikan persoalan kongkrit, karena ia memiliki keterkaitan dengan kompleksitas sejarah dan penafsiran yang melingkupinya. Tentu saja tidak semua orang harus mengetahui sejarah Kitab Suci. Yang dibutuhkan adalah kemampuan untuk menalar. Kemampuan untuk menalar ini yang lalai dalam pendidikan agama di Indonesia. Persoalan ini sudah merasuk ke dalam system pendidikan. Anak-anak didik tidak diajak untuk bertanya. Acapkali malah pertanyaan dicurugai sebagai pembangkangan.
Filsuf pragmatisme Amerika Serikat, John Dewey, menyatakan bahwa seharusnya basis pendidikan adalah pengalaman. Persoalan dalam pendidikan agama di Indonesia, menurut Ulil, adalah bahwa pendidikan agama sama sekali lepas dari pergumulan pribadi. “Pendidikan bukan untuk menanamkan doktrin, tetapi menyiapkan orang untuk bisa menghadapi kenyataan yang terus berubah,” demikian Ulil. “Dengan begitu,” lanjutnya, “seharusnya anak didik bisa menginterpretasikan diktum-diktum agama dengan pengalaman yang terus berubah.
Moh. Mukit Alumni PP Al jalaly
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H