Sebenarnya orang mau bilang apa juga merupakan bagian dari kebebasan berekspresi, kebebasan menyampaikan ide-ide. Itu hak dia. Namun, melancarkan kritik tentu juga meniscayakan argumentasi yang kuat, bukan hanya sekedar kritik yang penting hati puas.
Memang, jika mudik ditinjau dari aspek kultural saja sebagai tradisi tahunan di akhir Ramadhan, akan melahirkan banyak perspektif, bahkan "salah sangka". Dari sekian banyak perspektif itu boleh jadi ada yang menyatakan bahwa tradisi mudik itu hanyalah tradisi yang menghambur-hamburkan uang, tradisi yang tidak perlu, tradisi yang tidak urgen.
Tetapi jika kita tinjau dari aspek sosiologis tentu berbeda dengan aspek kultural. Aspek sosiologis mensyaratkan adanya nilai-nilai sosial yang terbawa dari tradisi mudik. Ada makna dan nilai sosial yang tinggi dalam tradisi ini. Salah satunya adanya pertautan antara aspek individual dengan aspek komunal. Mudikers, orang-orang yang mudik, bisa kembali bersilaturahim, berkumpul dengan sanak famili, bersenda gurau dengan kerabat, tetangga-tetangga, bahkan bercengkrama dengan sahabat-sahabat masa lalunya di kampung halaman.
Bahkan lebih dari itu, tidak sedikit yang menjadikan mudik sebagai pintu merekonstruksi nilai-nilai sosial kita. Tidak sedikit para mudikers tampil merombak tatanan sosial, memberikan ide-ide pembaharuan dalam tatanan sosial kita. Mulai dari semisal membangun kampung, membangun organisasi di kampung, membangun keharmonisan masyarakat dan kerukunan, bahkan hingga membangun daerah.
Biasanya, di sebagian daerah tradisi ini dimediasi oleh pemerintah daerah. Di Pamekasan Madura misalnya, tiap pasca-Idul Fitri selalu ada "Temu Kangen Para Tokoh Madura di Perantauan". Biasanya beberapa tokoh seperti Mahfud MD, Didik J Rachbini, dan tokoh-tokoh lain selalu meluangkan waktu untuk hadir.
Momen-momen semacam ini juga diperlukan agar menjadikan masyarakat kita tidak terputus dari akar sosialnya. Tidak terpisah dari sejarah masa lalunya. Inilah aspek historisitas dari tradisi mudik.
Jika melihat aspek kesejarahan atau historisitas ini, tentu mudik menjadi salah satu penguat akar sejarah kita. Paling tidak sejarah yang dibangun adalah sejarah manusia dengan masa lalunya. Â Kita, setiap individu memiliki sejarah atau masa lalu. Masa lalu itulah yang mengantarkan kita pada hari ini.
Oleh karenanya, jangan heran jika ada sebuah pernyataan bahwa tanpa masa lalu tidak akan pernah ada hari ini, dan tanpa hari ini pun kita juga tidak akan sampai pada hari esok. Jadi pertautan strategis antara sejarah masa lalu, sejarah hari ini, dan sejarah hari esok, merupakan takdir ilahi, yang amat berarti bagi manusia dan jalan hidupnya.
Kuatnya relasi ini kemudian mengharuskan manusia agar selalu mengingat masa lalunya. Manusia harus menempatkannya sebagai pelajaran, sebagai ibrah untuk mengarungi hari esok. (QS. Al-Hasyr: 15)
Inilah pentingnya kita memotret sejarah kita. Jika masa lalu kita ibaratkan sebagai permata, maka masa depan adalah permata yang terindah dari seluruh permata. Artinya bahwa masa depan kita haruslah jauh lebih baik dari masa lalu. Dalam konteks ini pandangan bahwa masa lalu membunuh masa depan juga kurang tepat, karena masa lalu hanya inspirasi untuk menuju masa depan.
Mengingat masa lalu tak lebih dari cara kita melihat nilai-nilai yang harus kita jadikan perbandingan dengan hari ini. Sebab, dalam etape kehidupan, masa depan kita akan melewati masa lalu dan masa kini. Karena pentingnya perbandingan ini, wajar jika Nabi menegaskan dengan sabdanya: "Jika harimu lebih baik dari hari kemarin, maka engkau telah beruntung; dan jika hari ini sama dengan hari kemarin kau telah merugi; dan jika harimu lebih buruk dari kemarin maka engkau telah celaka".