"Di perkampungan, setiap pergerakan manusia adalah guru kehidupan". Inilah kesan yang kurasakan dalam beberapa hari ini saat pamanku menggelar "walimatul urusy", pesta pernikahan untuk putri bungsunya, Rizkiyah. Â
Guru dalam konteks ini bukanlah mereka yang mendidik di bangku sekolah atau di surau dan masjid, bukan pula yang mengajarkan suatu ilmu agama ataupun ilmu umum. Guru dalam konteks ini adalah hal ihwal yang bisa dijadikan contoh atau teladan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Suasana kampung tentu berbeda dengan suasana perkotaan, dan saya yang hidup di perkotaan sudah begitu lama tenggelam dan larut dalam suasana kehidupannya, termasuk pergumulan sosialnya. Namun ternyata ada banyak guru di perkampungan ini, yaitu sesuatu yang layak digugu dan ditiru, sesuatu yang layak dijadikan referensi untuk kemudian kita bumikan dan implementasikan ke dalam wilayah kita, lingkungan kita, dan kehidupan kita sehari-hari.
Salah satu yang saya temukan dalam beberapa hari ini adalah kuatnya gotong royong yang jadi cerminan sekaligus model kehidupan di perkampungan. Tak ada pamrih, tak ada pembicaraan soal ongkos atau duit untuk mereka yang bekerja dan membantu, tak ada pula janji-janji yang menguntungkan untuk mereka yang bekerja meski keringat harus mengalir dari tubuh mereka. Bahkan tak ada pula kata "menolak" akan tugas yang diamanahkan kepada mereka dari para sesepuh. Mereka seperti tak kuasa untuk mengatakan "saya tidak bisa", "maaf, saya butuh ini, itu, dan seterusnya", "apa enggak sebaiknya tugas ini buat dia saja". Semua jawaban itu tidak saya temukan. Saya tidak tahu tentang isi hati mereka, tetapi dari mulut mereka semua terlalu terlontar kata "Ya, siap", enggi(Madura), inggih (Jawa), dan seterusnya. Inilah cerminan tentang kehidupan sosial masyarakat di perkampungan.
Maka gotong royong menjadi pancaran sikap saling memahami satu sama lain. Ia juga sebagai penerjemahan dari posisi manusia sebagai "zoon politicon", mahluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain serta saling menghargai dan menghormati satu dengan lainnya. Di perkampungan, tidak ada "aku", tidak pula ada "kamu". Yang ada adalah "kita". Tak ada tradisi berpecah-belah, yang ada adalah persatuan. Tak ada pula tradisi konflik, yang ada adalah perdamaian. Di perkampungan, guru terindah adalah kebersamaan.
Kesetaraan
Pelajaran lain yang menyelinap dalam kepala saya dari suasana walimah yang digelar paman saya ini adalah kesetaraan. Pembagian tugas yang ditunjuk seorang sesepuh di daerah ini merupakan tanggung jawab bersama. Ia bukan hanya dipikul atau dibebankan pada orang yang diberi tugas, tetapi juga bagi yang lain. Mereka yang diberi tugas hanyalah fungsional semata. Artinya ia difungsikan untuk mengkoordinir, mengomando, dan mempertanggungjawabkan. Tetapi selanjutnya adalah kebersamaan. Dalam kerja, tak ada pula anak buah ataupun bawahan. Mereka semua bersama, berjalan bersama ke arah yang sama, dengan takaran tanggung jawab yang sama. Untuk menyebut contoh misalnya meminjam perabotan dapur ke tetangga, meminjam lama' atau karpet, dan seterusnya, semua dilakukan secara gotong royong.
Jika kita hanya hidup di perkampungan sepanjang usia kita, atau kita hanya menghabiskan hari-hari kita di perkotaan, tentu akan sulit menangkap pesan-pesan positif dan istimewa sekaligus nilai yang tinggi dalam kehidupan sosial kita. Oleh karenanya kepekaan serta kemampuan kita untuk kemudian membaca perbedaan-perbedaan itu secara jernih adalah imbas dari tradisi dan kebiasaan di mana kita melakukan tafakkur sosial sehari-hari.
Membandingkan pola kehidupan ala perkotaaan dengan perkampungan bukanlah hal tabu untuk dilakukan. Sebab, ia bukanlah sesuatu yang tiada kemudian diada-adakan. Ia juga bukan sesuatu yang hidup, lalu kemudian hendak dibumi hanguskan. Perbandingan itu mesti ditempatkan sebagai proses membaca sosial kita secara jernih, tanpa ada tendensi di mana kita hari ini bermukim. Perbandingan ini juga dapat membangun kesadaran kita dalam bersosial secara lebih leluasa dan dapat menempatkan diri kita pada tempat yang semestinya, sehingga kita tidak salah dalam mengarungi samudra pergaulan kita sehari-hari.
Perbandingan inilah yang mesti kita baca secara jujur di mana masyarakat perkotaan cenderung hidup dalam hubangan individualisme yang akut. Dikatakan akut karena ini begitu sulit diubah, bahkan ia juga cenderung berjamaah, karena tidak hanya terjadi pada satu dua orang saja. Individualisme ini bukan berarti tidak adanya sikap saling membantu saja, tetapi juga masih adanya harapan imbalan dari orang yang dibantu. Sehingga tidak ada ketulusan dan keikhlasan dalam ritualitas sosial kita.
Ini berbeda dengan suasana perkampungan, yang kesemuanya penuh dengan kebersamaan, tanpa memandang perbedaan sebagai jarak yang memisahkan. Di perkampungan tak ada individualitas dan pembedaan perlakuan atas dasar status sosial, yang ada adalah ukuran kemanusiaan. Selama kita masih mendeklarasikan diri sebagai human, selama itu pula ketergantungan kita kepada orang lain tak bisa kita tanggalkan. Ia akan selalu melekat dalam diri kita. Bahkan hingga ajal menjemput pun, manusia masih membutuhkan 'uluran tangan' orang lain. Bukankah do'a anak-anak yang shaleh akan selalu ditunggu oleh orang tua mereka di alam barzah?Â