Dalam konteks kekinian, di mana bangsa ini begitu kuat dikendalikan  oleh asing, ditambah perilaku-perilaku berbangsa yang terus terpuruk,  baik dari aspek politik, hukum, ekonomi, dan seterusnya, maka hijrah  menjadi sangat relevan untuk diaktualisasikan.
Betapa banyak perjuangan para tokoh politik kita, aktivis, dan bahkan ulama yang concern mengampanyekan perubahan bangsa harus berakhir di balik jeruji besi. Â Ini memang bukanlah Orde Baru, tetapi gaya ini tak lebih dari "copy-paste" Orde Baru. Maka, sejatinya kita telah kembali ke rezim otoritarianisme ala Orba dalam bentuk lain.
Padahal, mestinya hukum benar-benar ditempatkan sebagai panglima  tertinggi dari sebuah kebijakan. Ia mesti berdiri di atas segala  kepentingan, karena ia memiliki dasar dan logika tersendiri. Hukum tidak  menggunakan logika politik, apalagi kekuasaan. Logika hukum adalah  logika keadilan dan itu merupakan sebuah keharusan.
Jika yang menjadi guidance masih logika permainan, dalam  arti logika politik, kekuasaan, termasuk juga logika ekonomi, bukan  logika keadilan, sangat mungkin hal itu akan menjadi preseden buruk bagi  penegakan hukum (law enforcement) kita dan bahkan akan merambah pada distrust, yaitu ketidakpercayaan publik terhadap hukum itu sendiri.
Di sini pertaruhan kepemimpinan adalah jawabannya, di mana pemimpin  tidak melihat orang lain sebagai lawan. Dalam membangun bangsa, oposisi  politik bukanlah rival, tetapi sejatinya ia mitra bagaimana membangun  bangsa dari versi yang berbeda. Dengan begitu, kritik tak perlu lagi  direspons dengan sikap apatis sebagai polusi. Ia harus dilihat sebagai  solusi.
Tentu, ini berbeda dengan gaya kepemimpinan era Jokowi yang banyak  ditampilkan beberapa bulan terakhir ini, di mana mereka yang memiliki  gagasan yang berbeda dipukul, bukan dirangkul. Mereka ditendang bukan  disayang dan bahkan harus mendekam di balik jeruji besi tanpa alasan  yang pasti. Dalam konteks ini, Jokowi dengan segenap pemerintahannya  perlu hijrah dari tradisi "memukul". Jokowi juga perlu hijrah dari  sekadar mengumbar janji menjadi mengumbar bukti. Bukankah kebijakan  mencabut subsidi listrik dan lainnya menunjukkan jika Jokowi sebenarnya  jauh dari status Pro-Wong Cilik?
Begitu pun dalam konteks politik. Hari ini, politik jauh melenceng  dari cita-cita yang sebenarnya. Politik meminjam terminologi Gabriel A.  Almond, politik memang kegiatan yang berhubungan dengan kendali  pembuatan keputusan publik dalam masyarakat tertentu di wilayah  tertentu, di mana kendali ini disokong lewat instrumen yang sifatnya  otoritatif (berwenang secara sah) dan koersif (bersifat memaksa). Tetapi  itu saja tidak cukup. Tujuan dari politik itu sendiri harus diarahkan  pada public goals, bukan private goals. Ia mesti  diarahkan pada kepentingan masyarakat umum. Tetapi hari ini realitas itu  sangatlah di luar idealitas politik, karena hari ini politik hanya  dikendalikan dan kemudian dimanifestasikan untuk kepentingan segelintir  elite saja.
Wallhu a'lamu bi al-shawb
Hambalang, 11 Juni 2017
Pukul 23.41 WIB.
Tulisan ini juga dimuat di Rilis.id pada 12 Juli 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H