"Kita harus tetap memelihara harapan, sekecil apa pun."
(Tjokro)
JIKA Anda menonton film "Guru Bangsa: Tjokroaminoto", satu kata yang  akan langsung melekat dalam kepala Anda, yakni "Hijrah". Dalam  film drama Indonesia yang disutradarai oleh Garin Nugroho ini, kata  hijrah seperti keyword utama film ini, sehingga ia divisualisasikan harus berdebat dengan seorang dari Yaman yang pro-Belanda karena kata hijrah ini.
Ya, hijrah menjadi diksi yang banyak dipilih dan diulang-ulang bahkan  hingga di ujung cerita. Saat akhirnya hendak dipenjara pun, kata hijrah  juga masih terucap dari lisan Tjokroaminoto: "Ataukah penjara adalah  hijrahku?"
Lalu, kenapa kata hijrah ia terus-terusan dipilih? Karena kepengapan,  kecemasan, dan kekecewaan tokoh guru bangsa ini dalam melihat realitas  politik saat itu.
Kolonialisme dan penindasan yang dilakukan Hindia Belanda yang terus  berlangsung di berbagai tempat membuatnya tidak nyaman. Dia berpikir  harus keluar dari zona nyaman dengan memilih hijrah. Bukankah Nabi  Muhammad SAW hijrah ke Yatsrib/ Madinah untuk mengumpulkan kekuatan  sehingga bisa melakukan Fathu Makkah?
Tjokro sadar, bangsa ini tidak bisa terus-menerus hidup di bawah  ketiak asing. "Bangsa ini harus punya pemerintahan sendiri," ujarnya  saat awal-awal keterlibatannya memimpin Sarekat Islam yang merupakan  perubahan nama dari Sarekat Dagang Islam di bawah pimpinan Haji  Samanhudi.
Karenanya, bagi Tjokroaminoto, hijrah adalah sebuah ikhtiar  melepaskan diri dan bangsanya dari ketertindasan dan penderitaan. Ia  juga menghidupkan konsep equality dengan menyadarkan rakyat bahwa mereka bukan "seperempat manusia".
Ia pun memilih hijrah dari Ponorogo kemudian ke Semarang. Lalu ia  memilih hijrah ke Surabaya. Di Surabaya, gagasan perlawanannya terhadap  Hindia Belanda dan gagasan membangkitkan semangat juang rakyat banyak  ditelurkan melalui tulisan-tulisannya di media massa.
Hijrah Kekinian
Tentu, hijrah tidak melulu dipahami sebagai sebuah perpindahan fisik,  tetapi juga pikiran dan mental, bahkan jiwa. Tekad jiwa bangsa ini  harus memantapkan diri agar bisa lepas dari---meminjam istilah  Tjokro---menjadi sirkus dari pemilik modal.
Jika jiwa kita hanya jadi sirkus, sudah pasti kita hanya jadi sebuah  tontonan semata. Tak lebih. Di sinilah hijrah juga berarti memberikan  kemerdekaan dan kesadaran politik agar kita tidak jadi tumbal kebijakan  politik itu yang destruktif.