Di sinilah kita memerlukan tabayyun, perenungan, hingga kontempelasi, termasuk dalam mengkaji kebenaran kasus chat mesum HRS. Apalagi perkara ini tidak saja menyangkut prasangka yang buruk, tetapi bisa mengarah pada fitnah yang keji. Oleh karenanya, Allah meminta orang-orang yang beriman agar menjauhi berprasangka dan juga mencari-cari kesalahan orang lain” (QS. Al-Hujurat: 12).
Bagi sebagian kalangan, kasus HRS bukan hanya sarat dengan prasangka, tetapi juga ada upaya mencari-cari kesalahan orang lain. Ini sebagaimana pernah diungkapkan oleh Ketua PP Muhammadiyah Yunahar Ilyas yang menyebutkan adanya kesan polisi mencari-cari kesalahan Habib Rizieq. (Republika, 30 Januari 2017).
Islam tentu jauh dari ajaran berprasangka buruk dan mencari-cari kesalahan orang lain ini. Sebab, sebagian tindakan berprasangka ada yang merupakan perbuatan dosa. Dalam ayat ini juga terdapat larangan berbuat tajassus, yaitu mencari-cari kesalahan-kesalahan atau kejelekan-kejelekan orang lain, yang biasanya merupakan efek dari prasangka yang buruk. Ini sebagaimana sabda Nabi, “Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk, karena prasangka buruk adalah sedusta-dusta ucapan. Janganlah kalian saling mencari berita kejelekan orang lain, saling memata-matai, saling mendengki, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara”.
Dalam kitab Al-Hilyah karya Abu Nu’aim (II/285) disebutkan bahwa Abu Qilabah Abdullah bin Yazid Al-Jurmi berkata, “Apabila ada berita tentang tindakan saudaramu yang tidak kamu sukai, maka berusaha keraslah mancarikan alasan untuknya. Apabila kamu tidak mendapatkan alasan untuknya, maka katakanlah kepada dirimu sendiri, “Saya kira saudaraku itu mempunyai alasan yang tepat sehingga melakukan perbuatan tersebut”.
Oleh karenanya, tradisi hakim-menghakimi bahkan hingga vonis memvonis, harus dihilangkan dalam keseharian masyarakat kita. Bukan saja dari kaum proletar atau masyarakat awam, tetapi juga kaum borjuis; kelompok elite, baik elite politik, birokrasi, hingga penegak hukum. Jika ini terjadi, seseorang tidak akan lagi merasa diintimidasi, diincar, atau merasa dijadikan target untuk dicari-cari kesalahannya.
Saya sendiri, termasuk yang kurang percaya dengan kasus ini. Sebab, tidak ada keterlibatan HRS dalam pesan maupun video itu secara nyata. Kak Emma, yang disebut-sebut dalam video curhat Firza, juga sudah berkali-kali membantahnya. Jika acuannya hanya pesan di WhatsApp, maka sangat sulit diidentifikasi kebenarannya, mengingat saat ini begitu mudahnya memanipulasi identitas di WA. Apalagi beberapa waktu lalu seorang pakar IT dari ITB Bandung, sudah menganggap chat tersebut hoax alias bohong.
Wallahu a’lamu bi ash-shawab.
Catatan Ramadhan Hari ke-3
Nusantara I DPR, 29 Mei 2017
Pukul 18.47 WIB.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H