Mohon tunggu...
Moh. Ilyas
Moh. Ilyas Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ahok, Skenario Allah, dan Kekagetan Saya

13 Mei 2017   20:53 Diperbarui: 13 Mei 2017   21:40 1312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Alhamdulillah, sujud syukur! Ahok 2 tahun”. “Alhamdulillah, saya akan langsung gundul”. “Takbir, Allahu Akbar!” Itulah kalimat-kalimat sesaat setelah majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjatuhkan vonis dua tahun terhadap Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dalam kasus dugaan penodaan agama.

Saya tak henti-hentinya tersenyum, tapi sekaligus terkaget-kaget membaca kalimat-kalimat itu di beberapa grup WhatsApp. Saya yang saat itu lagi ada meeting di Kementerian Agama, di Lapangan Banteng Barat, Jakarta Pusat, memang tak bisa mengikuti sidang pembacaan vonis Ahok melalui televisi. Karenanya, saya hampir tak henti untuk memelototin media sosial.

Bahkan beberapa poin pembicaraan dua kawan kami, Ratna dan Alvin yang saat itu berbincang dengan pegawai Kemenag, akhirnya luput dari perhatian saya. Tapi tak soal, karena kesimpulan akhir tetap saya ikuti, sehingga diketahui ujung persoalan yang kami diskusikan.

Kembali ke soal putusan Ahok, saya sungguh kaget. Kaget bukan karena putusannya yang tergolong ringan, untuk ukuran penistaan agama yang sangat meresahkan. Apalagi kasus penistaan agama selama ini banyak menyeret para pelakunya ke jeruji besi hingga empat tahun. Bagaimana misalnya baru-baru ini enam Pengurus Gafatar Aceh dianggap menyebarkan paham Millata Abraham, yang sudah dilarang dan dinyatakan sesat, sehingga divonis bersalah dan dihukum 3 dan 4 tahun penjara, atau ada pula Arswendo yang pada tahun 1990 divonis 5 tahun penjara lantaran terbukti menista agama dengan menempatkan Nabi Muhammad SAW di urutan ke-11 dalam jajak pendapat yang ditampilkan di Tabloid Monitor, atau juga bagaimana Syamsuriati alias Lia Eden yang dihukum penjara 2 tahun 6 bulan dalam kasus yang sama. Saya kaget juga bukan karena banyaknya bunga dan balon yang dikirimkan relawan Ahok di luar pengadilan. Tapi saya kaget karena putusan hakim yang lebih besar dari tuntutan jaksa dan langsung ditahan.

Rasa kaget bertambah, karena alur skenario yang sebelum vonis sempat terlintas dalam benak saya terbantahkan. Saya sempat berpikir bahwa Ahok akan divonis bebas atau setidaknya sama dengan tuntutan jaksa, yakni vonis 1 tahun dan 2 tahun percobaan. Pikiran ini semakin diperkuat dengan adanya sebuah pesawat helikopter kepolisian yang diparkir di lapangan Kementerian Pertanian. Apalagi setelah membaca judul berita di media online Detik.com, “Helikopter Terparkir di Lapangan Kementan, Disiapkan untuk Escape”.  Pikiran saya, mungkin juga pikiran banyak khalayak: Nantinya vonis hakim apalagi sampai membebaskan Ahok akan membuat massa, terutama yang kontra Ahok marah, sehingga Ahok harus diselamatkan melalui helikopter untuk menghindari kemarahan. Ada pula yang berpikir, helikopter itu untuk para hakim jika mereka memvonis Ahok bebas.

Bahkan beberapa komentar di media sosial juga mulai pesimistis karena helikopter yang diparkir di dekat ruang persidangan itu. “Ah, sudah tahu nanti hasilnya”. “Untuk apa ada helikopter? hhmm”, dan seterusnya, yang sebagian menunjukkan nada pesimisme terhadap persidangan Ahok.

Tapi apa yang terjadi? Helikopter itu hampir tak berfungsi. Ia tak dipakai siapa-siapa. Ahok pun akhirnya tak naik helikopter atau mobil pribadinya. Ia ‘terpaksa’ naik mobil aparat menuju ke Lapas Cipinang, bukan ke kantor gubernur di Balai Kota DKI atau ke kediaman pribadinya di Perumahan Pantai Mutiara, Blok J No. 39, Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara.

Bagi saya, meskipun ringan, vonis itu sangat pantas dihargai. Hakim berdalih karena selain ada hal memberatkan dalam kasus Ahok, seperti tidak merasa bersalah dari perkataannya di Kepulauan Seribu, kasusnya juga menimbulkan keresahan dan perpecahan bangsa, juga ada hal yang meringankan. Di antaranya karena Ahok belum pernah dihukum sebelumnya, menunjukkan sikap sopan selama pengadilan berlangsung, dan kooperatif mengikuti proses hukum.

Bukan yang Pertama

Tentu, saat saya mencoba mereview sedari awal kasus penistaan agama oleh Ahok bergulir, ini bukanlah kekagetan yang saya yang pertama. Ini sudah merupakan yang ketiga. Pertama peristiwa pada 15 November 2016, atau sekitar 11 hari setelah Aksi Bela Islam 411, Polri setelah melakukan gelar perkara terbuka terbatas di Mabes Polri akhirnya menetapkan Ahok sebagai tersangka.

Meskipun penetapan ini setelah melalui desakan publik, tapi keberanian polisi menjadikan Ahok tersangka sangat layak diacungi dua jempol, terlebih jika dibanding dengan KPK yang tak mampu (atau mungkin tidak berani) menjadikan Ahok tersangka dalam banyak dugaan kasus korupsi meskipun sudah ada banyak hasil audit BPK yang menunjukkan kerugian negara. Wajar jika keberanian polisi ini pernah diumbar Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian kepada publik, sembari mengeluarkan nada menyindir KPK, saat hadir dalam Aksi 212, di Monas.

"Bayangkan beberapa kali juga diperiksa KPK tidak bisa jadi tersangka tapi setelah ditangani Polri sudah jadi tersangka. Proses hukumnya terus berjalan," kata Kapolri saat itu.

Bagi saya, penetapan Ahok tersangka ini seperti menghapus memori “kesaktian dan kekuatan” Ahok yang sebelumnya disebut-sebut publik untouchable,alias tak tersentuh kasus hukum, akhirnya tersentuh juga.

Sebelum menjadi tersangka, publik cemas, pesimistis sembari bergumam: Sulit Ahok menjadi tersangka. Alasannya tidak jauh-jauh dari kekuasaan, sebagaimana dikhawatirkan banyak kalangan – meskipun terhadap tuduhan ini, Presiden Joko Widodo berkali-kali membantahnya. Sebagian lainnya juga masih percaya penetapannya sebagai tersangka hanya sekadar “permainan” untuk meredam gejolak publik yang di antaranya ditandai dengan aksi-aksi bela Islam menuntut keadilan.

Dengan melihat sepak terjang orang-orang di sekitar kekuasaan, misalnya ketika Ahok “salah ngomong” di pengadilan dan menyudutkan Ketua Umum MUI yang juga petinggi NU KH Ma’ruf Amin, tiba-tiba Menko Luhut Panjaitan dan Kapolda Metro mendatangi kediaman Ma’ruf Amin. Mereka memintakan maaf Ahok kepada Amin. “Lho, kok mereka yang memintakan maaf? Ahok siapa, mereka siapa, apa kaitannya?” Begitulah bisik-bisik publik waktu itu.

Modus ini berlanjut hingga sikap keukeuh Mendagri yang tidak mau menonaktifkan Ahok sebagai Gubernur DKI, di saat statusnya sudah menjadi terdakwa; disusul kemudian tuntutan JPU yang terbilang aneh bin ajaib, yang hanya menuntut penjara untuk Ahok satu tahun. Publik kemudian mengait-kaitkan ini dengan posisi Jaksa Agung yang diemban oleh politikus Nasdem, yang notabene merupakan salah satu partai utama pendukung Ahok. Tapi jaksa bukanlah akhir. Pintu keadilan terakhir berada di hakim. Maka sikap hakimlah yang kemudian ditunggu publik.

Lalu kekagetan kedua saya adalah ketika Ahok-Djarot keok di Pilkada DKI pada 19 April 2017. Ahok-Djarot kalah telak dari rivalnya Anies-Sandi yang berdasarkan Hasil Pleno KPU DKI meraup suara 57,96%. Sedangkan Ahok-Djarot hanya 42,04%.

Kemenangan dengan selisih suara yang sangat besar ini sangat membuat saya kaget. Saya memprediksi, sebagaimana juga prediksi kawan-kawan saya, termasuk mereka yang menekuni dunia survei dan penelitian, menyebutkan bahwa siapapun pemenangnya, selisihnya sangatlah tipis. Namun, apa yang terjadi, hasilnya jauh dari prediksi lembaga survei. Sebelum hari H, selisih Anies-Sandi dan Ahok-Djarot hanya sekitar 2 persen, yakni 49% untuk Anies-Sandi dan 47% untuk Ahok-Djarot. Bahkan salah satu lembaga survei, Charta Politica (lembaga survey yang diketahui sebagai pendukung Ahok-Djarot) malah berani menempatkan Ahok-Djarot di atas Anies-Sandi.

Saya sendiri saat itu tengah ‘bertugas’ di Kelurahan Kedaung Kali Angke, Cengkareng, Jakarta Barat. Tapi sambil menginput data masuk, saya terus mengikuti dan menyaksikan secara live beberapa media online dan media elektronik. Saya terus dibuat geleng-geleng kepala tidak percaya dengan selisih perolehan suara yang cukup jauh, dengan kemenangan Anies-Sandi. Hasil ini sungguh mengagetkan saya dan kemungkinan juga sebagian besar warga DKI. Mereka-mereka di lembaga survei nyaris tidak percaya melihat selisih yang terlalu renggang tersebut.

Kenapa semua ini terjadi? Sulit untuk tidak dikatakan bahwa semua ini ada invisible hand, ada campur tangan Allah, kekuatan transendental, kekuatan yang tak terhingga dan tak terlihat manusia. Peristiwa ini tidaklah natural sebagaimana kasus pada umumnya. Dengan mengikuti kekayaan dinamika dari berbagai aksi dan praharanya, termasuk banyaknya korban-korban tuduhan makar, kita melihat bahwa ada skenario yang lebih tinggi pangkatnya daripada skenario yang diciptakan manusia, secanggih apapun itu.

Pertolongan Allah melalui kekuatan do’a ini selain diakui banyak kalangan, juga diakui secara luar biasa oleh Anies Baswedan. Dalam sebuah syukuran kemenangan yang diadakan Relawan Dahmi di bilangan Tebet Barat pada akhir April 2017, Anies menyebut bahwa kemenangannya adalah benar-benar pertolongan Allah. Ini disebabkan banyaknya umat Islam yang menggelar doa, istighatsah, dan bahkan berpuasa, demi kekalahan Ahok. Dan doa-doa itu diakui Anies tidak hanya di Jakarta, tetapi di daerah-daerah lainnya di Indonesia.

“Ada namanya Pak Bahar, di Palu, itu puasa tujuh hari, dan tiap malam membacakan 40 yasin,” Anies menuturkan.

Apalagi di malam hari H, yakni sekitar pukul 00.00, 19 April 2017, ia mengaku menerima sebuah pesan dari koleganya, yang merupakan pemimpin redaksi salah satu media massa. Koleganya tersebut mengirim pesan bahwa Ahok-Djarot akan menang tiga persen. Mendapat pesan tersebut, Anies mengaku tak bisa berbuat apa-apa lagi, mengingat waktu pencoblosan yang tinggal menunggu hitungan jam. Ia mengaku hanya bisa pasrah dan tawakkal, sembari berharap pertolongan dari Allah SWT.

Oleh karenanya, Pilkada DKI mesti menjadi pelajaran bagi kita bahwa siapapun kita, seberapa kuat pun kita, tidak boleh membangga-banggakan diri, tidak boleh menyombongkan diri, karena di atas langit masih ada langit. Jika kita kaya, masih ada Allah yang Maha Kaya; Jika kita seorang raja, maka Allah adalah Raja Diraja; Jika kita kuat, masih ada Allah yang Maha Kuat; Jika manusia membuat skenario (makar), maka Allah jua pembuat skenario terbaik.

Wallahu a’lamu bi ash-shawab.

Tebet Timur, 13/5/2017

Pukul 20.43 WIB.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun