Mohon tunggu...
Moh. Ilyas
Moh. Ilyas Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Bersatu Pasca Terkotak-kotak

6 Mei 2017   19:58 Diperbarui: 6 Mei 2017   20:04 1753
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanpa terasa, sudah sekitar setahun kita menjalani hari-hari yang melelahkan. Hari-hari di mana aroma politik Ibu Kota begitu kuat tercium. Ketegangan, saling caci, saling cela, menjadi santapan hari-hari itu.

Di media sosial bahkan lebih dari semua itu. Bully-membully menyeruak di mana-mana, kabar hoax menggurita, sampai tak lagi dimengerti mana wilayah faktual dan mana wilayah imajiner, dan kata bernuansa hate speech juga berseliweran dari para pendukung para kontestan politik di Ibu Kota, mulai dari kubu Ahok hingga para penantangnya.

Hari-hari itu, langit Ibu Kota seperti terbelah dua. Pembelahan ini hadir dengan berbagai laqab (julukan) masing-masing. Kanan-Kiri, Nasionalis-Anti Nasionalis, Pribumi-Cina, ProKebhinnekaan-AntiKebhinnekaan, Pluralis-AntiPluralis, Islam-Nonislam, dan bahkan Islam garis lurus dan Islam garis bengkok (munafik). Semua laqab menghiasi perjalanan panjang politik di Pilkada DKI itu membelah hampir berbagai sendi kehidupan; politik, sosial, ekonomi, dan bahkan budaya.

Tidak hanya di Jakarta, dentuman politik Ibu Kota juga menyeruak ke berbagai daerah di Tanah Air. Diikuti kekhawatiran terjadinya konflik sosial yang terus terngiang-ngiang hingga detik-detik terakhir Pilkada DKI putaran kedua. Tentu, ini tak semata dilatari soal politik, tapi soal kasus penistaan agama yang mendera Ahok dan masalah keadilan yang juga menjadi pertaruhan.

Merajut Persatuan

Usai lembaga-lembaga survei menempatkan Anies-Sandi sebagai pemenang Pilkada DKI dengan perolehan suara di kisaran 58 persen, Ahok-Djarot bersegera memberikan ucapan selamat (tahniah) kepada calon yang diusung Partai Gerindra dan PKS itu. Ahok-Djarot menerima kekalahan dan menyatakan tidak akan menggugat hasil Pilkada DKI ke Mahkamah Konstitusi.

Gayung pun bersambut. Baik Anies maupun Sandi menerima tahniah tersebut. Bahkan Anies-Sandi langsung mengumandangkan rekonsiliasi untuk menyatukan kembali yang terserak dan yang tercerai-berai di Ibu Kota. Setelah bertemu dengan Ahok di Balai Kota DKI Jakarta, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, 20 April 2017, Anies berujar, "Kami sama-sama mengeluarkan rekonsiliasi antarpendukung dan menjaga persatuan, memperjuangkan persatuan”.

"Ya, kami semua adalah warga Jakarta yang kemarin sudah selesai, kami mulai babak baru," imbuhnya.

Hal senada disampaikan Sandiaga. Dia berkomitmen membangun dialog dengan pendukung Ahok-Djarot. "Enam bulan ke depan kita fokus rekonsiliasi dulu," kata Sandiga di Kemang, Jakarta Selatan, 20 April 2017.

Pernyataan Anies-Sandi sungguh merupakan ungkapan persatuan yang menyejukkan. Ungkapan itu seperti menghapus jutaan kekhawatiran akan terjadinya gejolak politik hingga konflik kemanusiaan. Dengan begitu, perebutan kepemimpinan DKI berlangsung dengan damai. Kini, persatuan dan kesatuan menjadi sebuah keniscayaan untuk dirajut kembali, sembari mengesampingkan perbedaan. Bersatu usai terkotak-kotak.

Pertarungan Belum Usai

Namun demikian, terlepas dari semua itu, saya melihat bahwa sesungguhnya hiruk-pikuk Pilkada baru sampai pada level permukaan. Kendatipun calon sudah terpilih, pertarungan Pilkada ini belumlah selesai.

Sebagai tonggak penentuan babak baru kepemimpinan, Pilkada secara substantif belum selesai. Pilkada mensyaratkan adanya kesamaan irama antara janji-janji saat kampanye dengan realisasi program kerja. Yang terpenting adalah perwujudan dari sebuah kata-kata.

Jika pilkada kemarin diibaratkan sebuah revolusi, maka meminjam kalimat Pramoedya Ananta Toer, ia adalah guru. Dia adalah penderitaan. Tetapi dia pun adalah harapan. Jangan khianati revolusi! Kembali ia pandangi dua orang tua itu, yang mungkin beberapa tahun lagi tewas digulung maut. Namun mereka meletakkan harapannya pada revolusi. Betapa mereka mengagumi lembaran uang, perwujudan revolusi (Larasati: 2000).

Bagi Anies pun, keterpilihannya sebagai Gubernur DKI belumlah usai. Ia menyatakan bahwa semua ini baru pada perjalanan awal sepak terjangnya di DKI.

"Bagi kami, perjalanan masih panjang, usaha kami tidak hanya memenangkan pemilu, tapi tujuan utama kami adalah untuk menciptakan kembali keadilan sosial bagi warga Jakarta," kata Anies seperti dirilis ABC News.

Oleh karenanya, kesejahteraan rakyat Jakarta adalah sebuah keharusan yang tak terelakkan untuk diperjuangkan. Jika Anies menjadi antitesis Ahok dari ucapan dan janji-janji kemanusiaannya, maka itulah beban perjuangan yang betul-betul harus dibuktikan lima tahun ke depan.

Bersyukur dan Ikhlas!
Selamat Anies-Sandi!

Jum'at, 21 April 2017

Pukul 11.49 WIB.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun