"Ada nangis-nangis ibu-ibu, kenapa bu, saya tinggal di tanah orang, yang gusur itu kan digarap buat pertanian tapi ternyata buat rumah, sekarang saya digusur dan diusir, sekarang saya cuman dapat duit Rp 8 juta, mana bisa hidup katanya. …Loh kamu enggak dituntut sudah bagus Bu. Saya bilang dapat Rp 8 juta. Saya mau minta rumah Pak ya enggak bisa dong, kalau kamu luntang lantung baru kita urusin, aktingnya terlalu banyak, saya bilang gitu baru berhenti nangisnya tahu gak. Ya sudahlah saya sudah hafal lah kelakuannya kayak gitu," kata Ahok kala itu.
Namun begitu, terlepas tulus tidaknya, pemandangan Ahok menangis boleh jadi di luar perkiraan sebagian kita. Bagi sebagian kita - atau mungkin kebanyakan kita - pemandangan itu cukup aneh. Kita tak pernah menyangka air mata Ahok bisa mengalir juga. Sebab, selama ini yang kita tahu tentang Ahok bukan tentang air matanya yang kini mengalir, tetapi tentang kekejaman dan kebengisannya yang justru sering membuat mata rakyat mengalir dalam kesedihan.
Betapa banyak rakyat menangis, menjerit dan menumpahkan air mata gara-gara Ahok? Berapa kerap kali Ahok melakukan penggusuran yang bikin rakyat tak hanya menangis, tapi sekaligus kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian mereka. Tapi melihat semua itu Ahok hanya bergeming. Alih-alih mau diajak musyawarah oleh rakyatnya, Ahok malah lebih memilih menggelar ‘karpet merah’ untuk para Taipan, pengembang yang disebut-sebut sudah berjasa besar mengantarkannya ke kursi DKI-1.
Bagi Ahok, ketika rakyat menangis saat digusur itu bukanlah suatu kepedihan. Ia hanya menganggap kepedihan itu jika dirinya saja yang merasakan persoalan hidup. Ahok tak peduli dan tak mau tahu air mata rakyatnya tumpah akibat kebijakanannya yang anti-kemanusiaan.
Bahkan, dalam pribadi Ahok, rakyat boleh jadi hanya seperti angin lalu yang keluh kesahnya, suka dukanya, dan air matanya tak berarti apapun. Baginya, rakyat tak lebih dari sekadar sapi perah yang diambil keuntungannya saat musim politik saja.
Pongah
Saya melihat cibiran publik, termasuk munculnya kata-kata nyinyir terhadap air mata Ahok, bukan kebetulan belaka dan ahistoris. Itu terjadi karena publik sudah lama gerah dengan tingkah Ahok.
Selama memimpin DKI, sudah amat banyak kalimat kepongahan yang terlontar dari mulut Ahok, mulai dari meneriaki seorang ibu dengan sebutan maling, kata-kata kotor seperti “Nenek lu sialan bangsat”, “Goblok sekali lu orang”, “Brengsek”, “Bego”, “Kasih taik ajak muka lu”, dan “Lu tai-tai semua”. Bahkan beberapa waktu lalu, setelah ia ditetapkan sebagai tersangka kasus penistaan agama, bukannya mengontrol ucapannya, Ahok malah kembali melancarkan fitnah. Ahok menyebut Aksi Bela Islam II atau yang dikenal dengan sebutan 411 didanai aktor politik. Tiap peserta aksi menurutnya mendapatkan bayaran sebesar Rp500 ribu. Akibat ucapannya ini, ia dilaporkan kembali ke polisi atas tuduhan fitnah.
Dengan begitu, tidak heran jika nama-nama seperti Amien Rais, Tri Rismaharini, Haji Lulung, hingga Boy Sadikin kompak menyebut Ahok sebagai sosok yang pongah, alias sombong. Amien Rais bahkan menyamakan Ahok dengan sosok dajal karena kesombongannya – istilah Amien Rais – menyundul langit.
Bukankah Ahok pernah menyatakan Tuhan pun akan dilawan jika ngaco? Kata ngaco sempat populer setelah Ahok menuduh temuan BPK soal RS Sumber Waras merugikan dirinya dan menganggap merugikan negara hingga Rp191 miliar. Ahok pun disebut-sebut terlibat dalam korupsi RS Sumber Waras ini, meski KPK ogah-ogahanuntuk menaikkan kasus ini ke tingkat penyidikan.
Oleh karenanya, ketika Ahok menangis dalam persidangan, publik bukannya menaruh simpati, publik malah makin nyinyir. Meme-meme bernada bullying terhadapakting Ahok justru bertebaran di media sosial. Mereka menganggap jangan-jangan Ahok seperti termaktub dalam gambaran sebuah hadits atau maqalah, idzaa tamma fujuuru al ‘abdi, malika ‘ainaihi, fa bakaa bihimaa, maa syaa (Saat sempurna kebiadaban seorang hamba, maka ia dapat memiliki (mengendalikan) dua matanya, lalu ia dapat menangis dengannya kapanpun ia mau).