"Hai, apa kabarmu saat ini?"
Kubuka percakapan dengan sapaan ramah. Kamu, sekali lagi tidak bergeming. Dingin.
"Badanku hangat, kalau kau perlu kehangatan. Rumah ini terlalu besar untuk kita. Apalagi hanya untuk suaraku yang bergema sendiri. Padahal mulut di ruangan ini ada dua yang bisa silih berganti memuji atau memaki. Semestinya."
Aku nyinyir dan kamu terlalu angkuh untuk mencoba acuh. Dan, tidak ada orang ketiga yang ingin terlibat dalam situasi ini. Jauh berbeda dengan beberapa bulan kemarin.
"Aku rindu kamu."
Aku terdiam sesaat, membiarkan memoriku bergerak cepat. Memutar lagi adegan yang tidak pernah aku inginkan, apalagi melakukan.
Di bulan November lalu ruangan ini ramai dengan lengkingan dan pekikan. Nama-orang-ketiga memporakporandakan  meja makan kita, meja tempat kita makan dan sering menjadi tempat kekhilafan birahi kamu dan aku. Orang ketiga yang secara kasat merasuki emosi dan melenyapkan akal sehat. Orang ketiga yang membuat kita membanjiri lantai ruangan ini dengan darah, bukan lagi dengan peluh gairah.
"Aaaaahhh...!!! Aku gila! Aku tidak rela! Bukan kamu yang seharusnya aku,,,,"
Seketika itu, penglihatanku dipenuhi kunangkunang. Seluruh tubuhku penuh bulir embun keringat, membuat kuyup kemeja putihku.
Sekuat tenaga aku menggendong potongan tubuhmu yang dingin kembali ke pendingin.
"Hai, apa kabarmu saat ini?"
Tanyaku kepada Dia, orang-ketiga.
Kembali tak ada jawaban dari sosok lelaki di hadapanku yang terjebak dalam cermin, dengan mata kosong dan kemeja putih yang basah kuyup dengan keringat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H