Pemerintah memberikan hak pengelolaan dan pengembangan lahan Pulau Rempang kepada PT Makmur Elok Graha (MEG), anak perusahaan Grup Artha Graha milik Tomy Winata. Pemerintah pusat melalui kerja sama antara BP Batam dan PT Makmur Elok Graha (MEG) bakal menyiapkan Pulau Rempang sebagai kawasan industri, perdagangan, hingga wisata yang terintegrasi demi mendorong peningkatan daya saing. Informasinya, Kelurahan Sembulang menjadi titik awal pembangunan kawasan Rempang Eco-City. Di atas lahan sekitar 2 ribu hektare di Sembulang, ada 3 kampung pemukiman warga yang hendak direlokasi ke di Dapur 3, Sijantung, Pulau Galang di tenggara Pulau Rempang.
Nantinya, Rempang Eco-City akan fokus dikembangkan ke dalam 7 zona utama. Di antaranya zona industri, zona agro-wisata, zona pemukiman dan komersial, zona pariwisata, zona hutan dan pembangkit listrik tenaga surya, zona margasatwa dan alam, serta zona cagar budaya. Investor China Pengembangan proyek pulau rempang menjadi kawasan ekonomi hijau baru tersebut pertama kali kedatangan minat investasi dari produsen kaca terkemuka asal China yakni Xinyi Glass Holdings Ltd.
Kepala BP Batam, Muhammad Rudi, mengungkapkan investasi perusahaan asal Tiongkok Xinyi Group untuk pembangunan pabrik kaca di Pulau Rempang, Batam, akan batal jika lahan di kawasan yang ingin dikembangkan tak kunjung tersedia. "Kalau ini tidak selesai maka investasinya akan keluar, mungkin balik lagi ke Malaka. tadinya ini di Malaka, tapi karena Malaka tidak bisa menyiapkan waktu yang mereka mau maka dia ditarik ke Kota Batam. Maka kami hanya punya beberapa hari lagi, tim saya turun terus kita coba menyelesaikan penyediaan lahan 2.000 hektare. Dari kawasan tersebut, rencananya akan dibangun 13 proyek," kata Rudi saat rapat bersama Komisi VI DPR RI, Rabu (13/9).
Sebelum Rempang, Xinyi Group sejatinya sudah punya investasi di Indonesia. Pada 2022, Xinyi Group investasi di Kawasan Ekonomi Khusus JIIPE Gresik, Jawa Timur. Xinyi meneken perjanjian kerja sama dengan PT Berkah Kawasan Manyar Sejahtera (BKMS) untuk menyediakan berbagai utilitas termasuk listrik, air, gas alam, pengolahan limbah, fasilitas telekomunikasi, internet, serta infrastruktur dan fasilitas lainnya untuk mendukung pembangunan dan pengoperasian fasilitas produksi kaca KEK JIIPE.
Peluang Xinyi Group hengkang dari Pulau Rempang juga disuarakan Sekretaris Kemenko Perekonomian, Susiwijono Moegiarso. Dia bilang, sejumlah negara tengah merayu Xinyi Group untuk minggat dari Pulau Rempang dan berlabuh ke negaranya. "Mereka (Xinyi) datang ke kantor (Kemenko Perekonomian) bertanya mengenai insiden yang ada di Pulau Rempang, kami sampaikan kalau tidak ada masalah, ini hanya soal komunikasi saja," ujar Susiwijono, Kamis (14/9/2023).
Managing Director at Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, menduga dikebutnya proyek Rempang Eco City lantaran adanya desakan dari investor China, Xinyi Group.Anthony mengaku miris dengan konflik Rempang yang dipicu penggusuran masyarakat yang melibatkan aparat. Dirinya tak mengharap, masalah ini berkembang menjadi konflik bernuansa SARA. Kalau itu terjadi, maka, bukan investor asing saja yang kabur, pengusaha dalam negeri juga minggat. "Kita kan punya pengalaman 1998-1999. Kebetulan di Rempang itu, investornya asal negara China. Jangan sampai ini berkepanjangan jadi konflik sosial," ungkap Anthony sebuah diskusi daring, Jakarta, Jumat (15/9/2023).
Dia menyampaikan, investor semacam Xinyi sangat sensitif dengan isu ras dan agama yang berujung konflik. Pemerintah pun khawatir hal itu akan berpengaruh pada kelanjutan investasi raksasa pabrik solar panel tenaga listrik tersebut. Kabarnya, sejumlah negara tetangga tertarik menggaet Xinyi untuk investasi di negaranya. Sejumlah negara seperti Malaysia, Thailand hingga Vietnam dikabarkan membujuk perusahaan asal China itu untuk mengalihkan investasinya.PM Malaysia, Anwar Ibrahim, sangat agresif menarik investor. Apalagi, nilai investasi yang direncanakan Xinyi di Pulang Rempang, cukup jumbo yakni US$11,6 miliar. Atau setara Rp175 triliun.
Kekhawatiran Pemerintah Pusat itulah yang kemudian memunculkan kesan Pemerintah lebih berpihak berpihak pada Investor dalam menjalankan kesepakatan dengan China mengorbankan kedaulatan dan kepentingan nasionalnya. Demi pembangunan Rempang Eco-city memaksakan masyarakat harus keluar, karena mereka ingin melaksanakan konsep eco city itu secara total dan tidak mau melibatkan masyarakat. Diksi 'pengosongan' digunakan seolah warga kampung-kampung tua melayu yg telah mendiami kawasan itu turun temurun tidak ada harganya di mata pemerintah. Tangisan warga Melayu Rempang di wilayah yang telah dihuni turun tenurun dan mempunyai sejarah yang panjang sama sekali tak digubris.
Sikap Pemerintah yang memaksakan kehendak dan terkesan  sangat tergesa-gesa menimbulkan tanda tanya di publik. Kenapa tidak berpikir untuk menschedule ulang?  Kenapa menggunakan diksi harus dikosongkan? Apa yang disembunyikan oleh Pemerintah? Kenapa Pemerintah tidak Transparan apa saja yang dimaksud proyek 'Eco-City, apakah hanya pabrik kacasaja?
Konsep ecocity pertama kali diajukan pada tahun 1975 dengan terbentuknya organisasi nirlama bernama Urban Ecology yang didirikan oleh sekelompok arsitek dan aktivis visioner termasuk Richard Register di Berkeley, California. Melanjutkan pengalaman ini, Register menciptakan istilah "ecocity" dalam bukunya tahun 1987 "Ecocity Berkeley: Building Cities for a Healthy Future." Selanjutnya  pada tahun 1992 Richard Register mendirikan Perusahaan nirlaba bernama Ecocity Builders.
Berikut adalah definisi kerja yang lebih panjang dari Ecocity Builders dan tim penasihat International Ecocity Framework & Standards (IEFS):