Mohon tunggu...
Muhammad Nidhal
Muhammad Nidhal Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis medioker
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pengamat, pembaca, dan (calon) penulis. Bercita-cita membuahkan karya tulis yang bisa mengubah hidup banyak orang ke arah yang positif. #PeaceLoveUnity

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Islam, Muhammad, dan Otoritas Karismatik Weber

14 Oktober 2019   21:57 Diperbarui: 14 Oktober 2019   22:03 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Studi mengenai otoritas karismatik (charismatic authority) Max Weber menjadi perhatian banyak ilmuwan, tak terkecuali para penstudi dari kalangan Muslim. Dalam konsep otoritas Max Weber, otoritas karismatik akan berubah menjadi otoritas tradisional, rasional, atau keduanya. Setelah kematian seorang pemimpin karismatik, menurut Weber, otoritas karismatiknya "ditakdirkan akan menurun." Berbeda dengan M. Syifa Amin Widigdo dalam paper-nya yang berjudul "After the Death of Charismatic Authority: A Weberian Perspective on Early Islam," beliau menyatakan bahwa pasca wafatnya Nabi Muhammad (otoritas karismatik), tidak membuat karisma nabi menurun sebagaimana yang diamini Weber. Justru sebaliknya, semakin memperkuat karisma nabi melalui penghormatan dalam bentuk citra, kumpulan perkataan, dan tauladan tindakan yang layak untuk ditiru dan diingat-ingat oleh para sahabat nabi dan pengikutnya.

            Fokus kajian dalam paper ini adalah otoritas karismatik pada masyarakat Islam awal (abad 7 Masehi) dimana paper ini memiliki dua tujuan utama yaitu; Pertama, mengidentifikasi apa "kepentingan ideal dan material" masyarakat Islam awal. Kedua, untuk menunjukkan bahwa unsur-unsur karismatik dari pemimpin karismatik tidak "ditakdirkan untuk menurun" seperti yang diklaim Weber. Hamid Dabashi (1989) menemukan bahwa otoritas karismatik cenderung terlembagakan sesuai dengan jenis pengikutnya. Tak jauh berbeda dengan Habashi, Jonathan E. Brockopp (2005) menekankan peran pengikut dalam menyusun model dinamika baru dari otoritas karismatik dapat diturunkan. Ditambah dengan Gudrun Kramer dan Sabine Schmidtke (2006) yang memperluas cakupan otoritas yakni wewenang otoritas tidak hanya dari individu, tetapi juga kelompok masyarakat dan institusi.

Dalam menyusun paper ini, Widigdo menggunakan bantuan teori ketergantungan manusia (human dependence) milik Alasdair MacIntyre. Beliau berpendapat bahwa manusia penuh dengan kerentanan (human vulnerability) dan untuk mengatasi kerentanan ini, menurut MacIntyre, manusia membutuhkan "particular others" (orang lain yang khusus). Ketergantungan semacam ini pada orang lain paling jelas pada anak usia dini dan di usia tua. Dalam konteks ini, orang tua, guru, pelatih, wali, teman, dan jaringan hubungan sosial yang lebih luas dapat memainkan peran penting karena kemampuan mereka dalam memberikan bantuan direktif serta bantuan yang diperlukan untuk berkembang.

Konsep MacIntyre tentang kerentanan dan ketergantungan manusia yang disebutkan di atas mengilhami kita untuk memikirkan kerentanan manusia sebagai entitas sosial. Dalam hal ini, ruang lingkup kerentanan individu diperluas menjadi pemahaman kerentanan dalam konteks sosial. Ini berarti bahwa jika seseorang dapat menderita penyakit tubuh, kerusakan otak, atau keterbelakangan mental; sama halnya, masyarakat juga rentan terhadap perpecahan, kekacauan, dan jatuh ke dalam periode panjang perang saudara. Sejalan dengan argumen ini, jika kerentanan pribadi dapat dihadapkan dengan bantuan particular others, suatu masyarakat membutuhkan particular others juga untuk mengatasi kerentanannya.

Dalam kasus masyarakat awal Islam, kerentanan sosial terjadi setelah kematian Nabi Muhammad pada 632 M. Diantaranya, pertama, suku Badui yang telah tunduk kepada Nabi Muhammad menolak untuk melakukan kewajiban mereka, seperti mengirim zakat ke Madinah. Kedua, gerakan kemurtadan (riddah) meningkat karena ketiadaan sang nabi. Ketiga, seorang nabi palsu muncul dengan klaim menyampaikan pesan dan wahyu baru. Keempat, persaingan sektarian atas kursi kepemimpinan terjadi, terutama antara Ansar (kaum Muslimin dari Madinah), dan Muhajir (kaum Muslimin yang beremigrasi dari Mekah). Kelima, para pendukung keluarga Nabi Muhammad dan para sahabat lanjut usia Nabi Muhammad sedang memperdebatkan hak kepemimpinan politik dan agama, antara mereka yang menghendaki Ali bin Abi Thalib dan mereka yang mengusulkan Abu Bakar sebagai pemimpin pengganti nabi.

Kerentanan ini membuat masyarakat Muslim awal menyadari bahwa mereka tidak bisa berdiri sendiri. Mereka membutuhkan particular others guna membantu mereka dalam menghadapi perpecahan dan disintegrasi sosial. Tidak seperti particular others MacIntyre yang terdiri dari agen pribadi, particular others dalam Islam awal tampaknya kurang bersifat pribadi, yaitu: keteladanan, nilai-nilai, dan ajaran nabi. Pada gilirannya, mereka menggunakan contoh-contoh, nilai-nilai dan ajaran-ajaran nabi dengan kepentingan mempertahankan dan memperkuat tatanan sosial Islam (Weber menyebutnya "kepentingan material"). Mereka tunduk pada tradisi kenabian dengan maksud untuk membuat otoritas karismatik nabi tetap hidup dan dihormati (Dalam istilah Weber disebut "kepentingan ideal"). Itulah alasan mengapa rutinisasi (routinization) karisma terjadi dalam masyarakat Islam awal.

Penjelasan Weber tentang rutinisasi karisma yang menunjukkan peran penting sahabat nabi dan pengikut setia dalam membangun otoritas tampaknya dikonfirmasi oleh catatan sejarah masyarakat Islam awal. Namun, rutinisasi karisma dalam konteks Islam tampaknya tidak menimbulkan kemunduran karisma, melainkan mengintensifkan seruan karisma. Dalam perkembangan awal, otoritas dipusatkan pada nabi yang menerima penghormatan dan kepatuhan karena menyampaikan wahyu Allah (Al-Qur'an) dan menunjukkan perilaku teladan (Sunnah). Setelah kematian nabi, pada kenyataannya, para sahabat dan pengikut nabi (tabi'n) berusaha untuk mempertahankan otoritas karismatik nabi. Otoritas karismatik kemudian ditransformasikan menjadi jalur tradisionalisasi dan rasionalisasi.

Generasi pertama para sahabat, di bawah kepemimpinan Abu Bakar (632-634), Umar bin Khatab (634-644), Utsman bin Affan (644-656), dan Ali bin Abi Talib (656-661), relatif berhasil dalam hal membuka jalan bagi pelembagaan karisma awal. Proses rutinisasi karisma lebih tampak pada era Utsman bin Affan. Meski demikian, terjadi berbagai cobaan dari masing-masing periode kepemimpin memicu turbulensi politik yang dinamis. Terlepas dari serangkaian turbulensi politik yang panjang, masih ada generasi para sahabat dan pengikut-pengikut yang berjuang untuk memulihkan dan melindungi tatanan sosial Islam dengan cara menarik tradisi-tradisi kenabian. Di antara mereka adalah; cendekiawan agama ('ulam') termasuk penafsir Quran dan guru (mufassirn) dan ulama Hadits (muhaddithn) dan petapa agama (sf). Menurut Lapidus, otoritas cendekiawan agama dan para petapa diperkuat oleh tradisi pembelajaran yang rantai sumbernya dapat ditelusuri kembali ke otoritas nabi. Nabi secara terus-menerus disebut sebagai sumber dan pedoman rutinitas sehari-hari.

Dari pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Islam awal sebagai entitas sosial dan agama menyadari apa yang disebut MacIntyre sebagai "kerentanan"; mulai dari turbulensi politik, perpecahan sosial, hingga disintegrasi sosial dan budaya. Untuk mengatasi kerentanan ini, mereka meniru praktik dan perilaku teladan (Sunnah) Nabi Muhammad. Mereka percaya bahwa ingatan kolektif tentang karisma individual Muhammad dan tradisi-tradisi keteladanannya dapat melestarikan agama dan menjaga tatanan sosial Islam serta menjadikan karisma nabi lebih intensif daripada menurun. Aktor-aktor penting di balik doa tradisi kenabian seperti itu adalah para sahabat nabi, pengikut, komandan sekaligus administrator, hakim, petapa agama, dan ulama. Oleh karena itu, tidak seperti klaim Weber, karisma pemimpin karismatik dalam kasus Islam diabadikan dan diintensifkan daripada menurun dan menghilang.

---

Esai Ringkasan

Jumlah kata   : 3858

Penulis             : Muhammad Nidhal Ezzat Luthfi

Sumber            : Widigdo, M. Syifa Amin, "After the Death of Charismatic Authority: A Weberian Perspective on Early Islam," dalam Jurnal Afkaruna Vol. 13, No. 2 (2017)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun