Mohon tunggu...
Moelyonov Abdul Djalil
Moelyonov Abdul Djalil Mohon Tunggu... Penulis - Hipnotis/hipnterapis/trainer/motivator. Pemerhati masalah sosial, budaya, dan politik yang memiliki hobi menulis.

Hipnotis/hipnterapis/trainer/motivator. Pemerhati masalah sosial, budaya, dan politik yang memiliki hobi menulis.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sumpah Janji Anggota DPR Harus Diubah

1 Oktober 2014   23:59 Diperbarui: 1 Oktober 2019   19:37 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam perjalanan tadi siang (1 Oktober 2014), penulis mendengarkan radio yang kebetulan menyiarkan prosesi pelantikan anggota DPR RI 2014-2019.

Tampaknya, pihak radio menginginkan seluruh pendengar mendengarkan dengan jelas bagaimana bunyi sumpah (dan janji) para anggota parlemen yang terhormat ketika dilantik, sehingga para pendengan (baca: konstituen dan rakyat), mengerti atau memahami isi sumpah/janji tersebut.

Sambil menyetir, penulis mendengarkan secara seksama bagaimana bunyi sumpah/janji tersebut. Setelah sampai tujuan, penulis segera browsing, mencari bunyi asli sumpah tersebut di internet.

Apa yang diucapkan oleh para anggota DPR yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung itu memang sama persis dengan yang penulis dapatkan di internet. Juga diawali dengan tata cara seperti yang tertuang dalam Tata Tertib DPR, Pasal 9, b. dilakukan menurut agama, yakni:
1. diawali dengan ucapan "Demi Allah" untuk penganut agama Islam;
2. diakhiri dengan ucapan "Semoga Tuhan menolong saya" untuk penganut agama Kristen Protestan/Katolik;
3. diawali dengan ucapan "Om atah Paramawisesa" untuk penganut agama Hindu; dan 4. diawali dengan ucapan "Demi Sang Hyang Adi Budha" untuk penganut agama Budha.

Sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) adalah sebagai berikut: 

  • Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji: bahwa saya, akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota/ketua/wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan eraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

  • bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh, demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan;

  • bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia."

Adakah yang salah? Tampaknya tidak ada. Namun, jika diperhatikan dan dicermati secara psikologis, sumpah/janji tersebut jika seandainya tidak dilaksanakan tidak apa-apa. No problemo. Mengapa? 

Pembaca yang budiman, pasti Anda semua sudah sangat mafhum dan hapal di luar kepala dengan kata "akan", bukan? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan, akan 1 adv (untuk menyatakan sesuatu yg hendak terjadi, berarti) hendak: disangkanya hari -- hujan.

Dengan definisi itu, akan merupakan sesuatu yang baru hendak terjadi. Apakah sesuatu yang hendak terjadi tersebut ada kepastian terjadi? Apakah jika tidak terjadi lantas menjadi suatu yang salah? Sebaliknya, jika terjadi pasti menjadi suatu yang benar 100%? Sayang, penulis bukan ahli bahasa yang bisa menjelaskan fenomena akan ini.

Dalam dunia ilmu hipnosis/hipnoterapi yang sempat penulis dalami, kata akan, hendak, mau, dan ingin, seolah-olah ditabukan penggunaannya dalam pemberian sugesti kepada klien. Mengapa? Karena keempat kata tersebut hanyalah kata kosong, harapan hampa yang tidak ada artinya sama sekali, bahkan tidak mendukung kata setelahnya.

Contoh:

Aku adalah orang yang sangat bahagia bandigkan dengan Aku adalah orang yang akan sangat bahagia.

Aku hari ini banyak rezeki bandingkan dengan Aku hari ini akan banyak rezeki.

Aku anak pandai bandingkan dengan Aku anak yang akan pandai.

Kalimat-kalimat contoh yang tidak menggunakan kata akan tersebut tampak jelas, saklek, menusuk langsung tepat sasaran dan masuk ke dalam bawah sadar kita. Dengan demikian, besar kemungkinan yang akan terjadi adalah sebuah kenyataan pasti. Bukan suatu yang hendak terjadi, melainkan sesuatu yang (diharapkan) pasti terjadi.

Atas dasar inilah, penulis mengusulkan kepada semua pihak yang berkepentingan (pemerintah dan DPR) dan ahli (ahli bahasa dan psikolog), mengkaji kembali, jika perlu menghilangkan, penggunaan kata akan dalam setiap pengucapan sumpah/janji jabatan, termasuk sumpah/janji anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat.

AAaaaahh... jangan-jangan memang kata akan tersebut sengaja diselipkan agar aman dan nyaman alias tanpa beban atas sumpah dan janji itu sendiri. Wallahu alam bisshowab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun