Mohon tunggu...
Mulyadi Wijaya
Mulyadi Wijaya Mohon Tunggu... Freelancer - Baca

Lahir di pulau kecil di Selayar, Sulawesi Selatan. Bekerja sebagai fasilitator, peneliti independen dan associate di Prakarsa Cipta, hobinya menyelam, camping dan sesekali memotret

Selanjutnya

Tutup

Nature

Daeng Datu; Dari Berburu Telur Hingga Menangkar Penyu

19 Desember 2013   22:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:43 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Musik bertema lingkungan bergema malam itu. Di sebuah kafe di bilangan S. Siswomiharjo, Selayar, Sulawesi Selatan kami duduk berbincang. Asap rokok mengepul. Secangkir kopi hitam mengawal. Tentu dengan barisan pisang bakar keju. Malam itu hadir Asrahiyah (ku panggil Acca), Sharben (Om Ben), Asri, Regal dan beberapa personil Sileya Scuba Diver (SSD) yang aku tidak ingat namanya. Kafe itu dinamai "Tempat Biasa" disingkat TB. Itulah markas kawan-kawan SSD dan komunitas lingkungan di Selayar. Setiap kali ke Selayar aku senantiasa mampir di TB. Ya sekedar silaturrahim. [caption id="attachment_309990" align="aligncenter" width="448" caption="Daeng Datu (berbaju putih) menjelaskan sesuatu kepada Komunitas JJS dari Makassar [foto: dg situru"]"][/caption]

Sambil ngenet dan menikmati kopi, Acca lalu bercerita tentang pengalamannya ke pasar baru di Bonea. Bonea ini terletak kira-kira kurang lebih 2 km dari pusat kota Benteng. Pasar ini merupakan pasar terbesar di Selayar.

"Setiap aku ke pasar, selalu ada penjual yang menjajakan telur penyu." jelasnya. "Trus, apa yang kamu pikirkan" tanyaku menyelidik. "Yang terbayang dibenakku ketika itu, dari mana ya mereka - penjual - itu mendapatkannya"? urainya. "Jadi apa yang kamu lakukan"? tanyaku lagi. "Saya kemudian mencoba mendekati penjual. Menanyakan bagaimana mereka memperoleh telur-telur penyu itu dan dimana"? jelasnya dengan nada yang serius. [caption id="attachment_309991" align="aligncenter" width="448" caption="Acca dengan seorang warga sedang mengukur suhu [foto: dg situru"]"]

13874678441540688169
13874678441540688169
[/caption]

Dari proses itulah kemudian terbangun komunikasi. Saling mengenal. Bertukar nomor ponsel. Awalnya agak tertutup, tetapi lama kelamaan penjual lalu mulai terbuka. Ia menceritakan bagaimana proses mereka berburu telur penyu untuk di jual sebagai pendapatan. Di peroleh juga informasi bahwa telur-telur itu diperoleh dari hasil berburu di sebuah pesisir di dusun Tulang, Kecamatan Bontomanai. Mereka menjual kepasar Bonea dengan harga kisaran Rp 800/biji. Para pemburu telur itu biasa memperoleh 300 hingga 400 butir.

[caption id="attachment_309992" align="aligncenter" width="448" caption="Telur adopsi yang siap di tanam [foto: dg situru"]"]

13874679371225438081
13874679371225438081
[/caption]

Acca lalu mendekati Daeng Datu. Tokoh masyarakat yang ketika itu adalah kepada dusun. Tentu tidak mudah mengajak mereka berhenti. Maka langkah pertama yang dilakukan ialah bagaimana mengadopsi telur-telur penyu itu. Teman-teman pencinta lingkungan lalu urunan (bahasa Jawa) / ngumpul uang untuk membeli telur. Telur yang sudah di beli oleh masyarakat di tangkarkan. Dilakukanlah proses belajar bersama bagaimana menangkar telur penyu. Membuat lubang dan mengukur suhu. Maka di mulailah proses itu. Masyarakat atas koordinasi Daeng Datu pun turut terlibat. Menggali lubang, mengukur suhu, memasukkan telur ke lubang dan menjaganya.

Inisiatif itu kemudian berkembang terus. Perlahan-lahan dibangun kesadaran masyarakat mengenai arti penting menjaga lingkungan dan melindungi penyu itu. Aku diminta menfasilitasi pertemuan untuk memperkuat kelembagaan yang ada. Di sepakatilah kelompok dan nama "kampung penyu" sebagai brand. Kini kelompok itu tidak lagi berburu telur-telur untuk dijual. Mereka menangkar dan dijadikan semacam ecowisata. Sehingga setiap kali ada yang mau melepas tukik bisa berkontribusi. [caption id="attachment_309993" align="aligncenter" width="504" caption="Masyarakat kerja bakti membuat tempat penangkaran [foto: dg situru"]"]

13874681001730261247
13874681001730261247
[/caption]

Dalam satu tahun, perkembangannya cukup signifikan. Di samping kesadaran masyarakat yang meningkat. Juga sudah mulai di kunjungi sebagai tempat wisata alternatif. Bahkan sudah dijadikan tempat belajar oleh Taman Nasional Pulau Seribu untuk berbagi bersama mengenai penangkaran tukik itu. Juga menjadi kunjungan beberapa kontingan pada Sail Komodo yang lalu.

Daeng Datu tidak lagi berburu dan menjual telur. Kini ia banyak disibukkan oleh tukik-tukik dan pengunjung yang sering datang melihat, berwisata dan jalan-jalan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun