Mohon tunggu...
Muhibuddin Aifa
Muhibuddin Aifa Mohon Tunggu... Perawat - Wiraswasta

Jika Membaca dan Menulis adalah Cara yang paling mujarab dalam merawat Nalar, Maka Kuliah Adalah Pelengkapnya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Nestapa Kelas Online bagi Keluarga Marginal

27 Juli 2020   14:08 Diperbarui: 1 Agustus 2020   14:03 1908
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pak Saifullah Mendatangi Rumah anak didiknya secara bergiliran karena mereka tidak mempunyai smart phone. (Sumber Foto : Saifullah)

"Salah seorang Bapak-bapak yang tidak mau disebutkan namanya, ia mengatakan setiap berlangsung kelas online harus mengeluarkan menimal lima puluh ribu rupiah untuk pembelian koata internet, bayangkan ia mempunya dua anak yang saat ini masih bersekolah"

Tidak semua orang terlahir dari keluarga yang beruntung. Jika bisa memilih, sudah pasti semua menginginkan terlahir dikalangan keluarga mapan. Itulah lika-liku kehidupan yang sudah menjadi ketentuan Allah, SWT.

Menjadi bagian dari keluarga marginal dituntut untuk ulet dalam mengikuti proses belajar mengajar ditengah masa pandemi, karena keterbatasan media untuk beradaptasi dengan belajar secara online. Berbeda halnya dengan mereka yang mapan, yang mempunyai kemudahan dalam memperoleh segala sesuatu terkait belajar online.

Sebagaimana yang telah kita rasakan, pandemi Covid-19 telah mengubah cara belajar bagi dunia pendidikan. Semula dilakukan dengan cara tatap muka langsung, kini secara online (daring). 

Ketakutan akan terpapar virus mematikan itu semakin membuat orang tua murid dituntut untuk mengeluarkan ekstra tenaga, pikiran dan uang. Bahkan, harus siap untuk memantau, menjadi fasilitor, dan sekaligus berperan sebagai 'guru' bagi anak-anaknya.

Yang lebih 'menjengkelkan' lagi, barangkali bagi kaum ibu. Mereka acap kali dibuat kelabakan. Selain kerepotan dengan urusan rumah tangga, kini bertambah lagi tugas mereka menjadi pembimbing materi belajar bagi anak-anaknya.

Sederet persoalan lainpun muncul dalam pelaksanaan metode belajar online. Mulai dari peningkatan penggunaan koata internet, susahnyasinyal Hp, dan bahkan ada murid yang tidakmemiliki HP. Sedihnya lagi, ada yang mengalami frustasi, akibat tidak memiliki media pendukung, sehingga mengakibatkan hilangnya nyawa.

Sebagai pekerja di salah satu Rumah Sakit di Aceh, sudah pasti saya sering mendengarkan berbagai keluhan yang diutarakan dari teman-teman sejawat disana mengenai kelas online. 

Salah seorang Bapak-bapak yang tidak mau disebutkan namanya, ia mengatakan setiap berlangsung kelas online harus mengeluarkan menimal lima puluh ribu rupiah untuk pembelian koata internet, bayangkan ia mempunya dua anak yang saat ini masih bersekolah.

Tak jauh beda dengan persoalan Bapak-bapak tadi, seorang Ibu yang juga teman sejawat saya, dia ikut mengeluh karena harus berbagi HP dengan anaknya. 

Padahal ditempat bekerja samart phone juga menjadi kebutuhan baginya sebagai media informasi di group whatsapp terkait urusan pekerjaannya. 

Tak jarang ia melewatkan rapat penting di kantornya dikarenakan HP-nya berada di tangan anaknya untuk pelaksanaan kelas online. Sehingga ia ketinggalan informasi dari atasannya.

Sebagaimana dilansir oleh kompas.com, Siswa 14 tahun asal Kerala, India, dilaporkan bunuh diri saat mengetahui dia tidak dapat menghadari kelas online karena tidak memiliki smartphone ataupun TV. 

Kejadian tersebut sangat kita sesalkan, harusnya ia masih bisa menghabiskan masa remajanya dengan belajar dan bermain sebagaimana pada umumnya anak-anak yang lain.

Kejadian unik lainya pada Siswa kelas VII SMPN 1 Rembang Dimas Ibnu Alias tetap belajar di sekolah sendiri karena tak memiliki smartphone untuk belajar jarak jauh di tengah pandemi Corona (COVID-19) news.detik.com.

Kenyataan tersebut membutuhkan perhatian serius daripihak pengambil kebijakan dalam halini Kementrian Pendidikan dan Kebudayan (Kemendikbud). Supaya kejadian siswa bunuh diri akibat efek dari belajar secara virtual di India tidak terjadi di tempat kita.

Lebih Efektif Belajar Online atau Offline

Pak Saifullah Mendatangi Rumah anak didiknya secara bergiliran karena mereka tidak mempunyai smart phone. (Sumber Foto : Saifullah)
Pak Saifullah Mendatangi Rumah anak didiknya secara bergiliran karena mereka tidak mempunyai smart phone. (Sumber Foto : Saifullah)

Tetap bersemangat mengajar.

Diatas telah saya singgung tentang masalah yang paling buruk akibat belajar daring. Walaupun tidak dapat dipungkiri, bahwa belajar secara online juga mempunyai sisi lebihnya. 

Misalnya, tidak butuh transportasi, hemat biaya, tenaga, ruang dan waktu. Siswa bisa langsung belajar tanpa harus berangkat keruang belajar. Begitupun dengan guru yang bisa melakukan tugas mengajar dimanapun mereka berada selama tidak bermasalah dengan koneksi internet dan isi kantongnya.

Memang, belajar secara virtual ini bagi sebagian orang menganggapnya lebih efisien. Namun tidak bagi kalangan minor yang menetap di daerah terpencil.

Mereka tidak memiliki kemudahan yang berupa sarana dan prasarananya. Misalnya, akses, baik dalam hal ketersediaan HP dan sinyalnya, terbatasnya kemampuan dan keterampilan terkait teknologi informasi, yang berupa kecakapan dalam memahami 'prosedur' mengoprasikannya.

Bagi saya, tatap muka jauh lebih baik dan efektif. Dengan moto terjadi proses belajar secara langsung, kontak mata antara guru dan murid memberikan pengaruh psikologis terhadap peserta didik.

Salah satu kiat membangun komunikasi efektif adalah melalui kontak mata antara dua arah, yaitu guru dan murid. Moto desini juga mempermudah guru dalam melakukan pengawasan terhadap muridnya.

Walaupun memang, pembelajaran Offiline (tatap muka langsung), memiliki kekurangan. Misalnya harus datang ke sekolah, butuh biaya dan sarana transportasi, waktu, tenaga, dan sejumlah risiko lainnya. Tidak jarang, orang tua harus mengantarkan anaknya sendiri ke sekolah.

Terlepas dari kelebihan dan kekurangan kedua metode di atas, saya menyakini mayoritas guru dan murid sudah sangat merindukan belajar secara tradisional ini, yakni berupa tatap muka langsung.

Pemerintah Perlu Melakukan Inovasi
Pemerintah perlu melakukan Evaluasi yang menyeluruh dengan melibatkan seluruh Stake Holder terkait. Guna memastikan keberlangsungan terhadap proses belajar mengajar belajar dengan baik. Langkah itu bisa diambil, misalnya dengan memperhatikan wilayah sekolah berdasarkan zona merah dan hijau.

Sekolah di Zona Merah
Kemendikbud harus memberikan fasilitas yang memadai terhadap guru dan peserta didik terutama ketersediaan fasilitas internet, baik berupa pendukung untuk terbangunnya koneksi internet yang memadai.

Begitupun dengan ketersedian koata internet. Hendaknya diberikan juga kuota yang memadai bagi guru dan murid. Meskipun itu tidak mungkin diberikan pada semua guru dan siswa se Indonesia. 

Paling tidak Mendikbud bisa menerapakan skala prioritas. Tentunya siswa dari keluarga marginal sangat membutuhkan dukungan dan fasilitas tersebut.

Sekolah di Zona Hijau
Untuk katagori sekolah di zona hijau, pemerintah juga harus membuat kebijakan agar mereka bisa sekolah melalui metode Offline atau sistem tatap muka. 

Ada sekolah yang hingga saat ini berstatus zona hijau masih melakukan belajar secara online. Padahal semestinya sudah bisa dilakukan secara tatap muka. Seperti Kota Banjarmasin dan Sukabumi, belum melakukan proses belajar belajar secara tatap muka, padahal daerah tersebut telah berstatus hijau.

Untuk Aceh dari 23 Kabupaten/Kota, sebanyak 15 Kabupaten telah melakukan belajar melalui tatap muka (Klasikal). Sementara 8 Kabupaten yang tersisa belum bisa melakukan belajar secara tatap muka, karena masih berstatus zona merah.

Sudah saatnya pemerintah bahu-membahu dengan semua pihak untuk menyelamatkan dunia pendidikan. Jangan sampai terpuruk dan terjebak dalam situasi pandemi. 

Pemerintah juga perlu memperhatikan nasib Guru Honorer yang mempunyai dedikasi tinggi untuk diberikan reward yang sepantasnya agar memantik semangat mereka dalam mencerdaskan bangsa.

Guru Harus Kreatif
Ketidak-pastian kapan akan berakirnya masalah pandemic Covid19, membuat guru harus terus berpikir kreatif dan bekerja keras. Seperti yang dilakukan oleh Saifullah, S.Pd., salah seorang Guru Honorer sebuah Sekolah Menengah Pertama di seputaran Kota Langsa Aceh. 

Pak Saifullah Mendatangi Rumah anak didiknya secara bergiliran karena mereka tidak mempunyai smart phone. (Sumber Foto : Saifullah)
Pak Saifullah Mendatangi Rumah anak didiknya secara bergiliran karena mereka tidak mempunyai smart phone. (Sumber Foto : Saifullah)
Baginya proses belajar harus berjalan walau dalam masa-masa pandemi, hampir setiap hari ia melakukan kunjungan rutin ke rumah-rumah anak didiknya.

Tidak jarang ia harus merogoh isi kantongnya sendiri untuk mengajar anak didiknya melalui door to door. Hal itu dilakukan karena kebanyakan muridnya tidak memiliki HP dan kuota internet."Kadang-kadang saya juga tidak memiliki paket internet." Katanya. Bagaimanapun, hal ini bukanlah kendala besar yang berarti. Dia tetap melaksanakan tugasnya.

Pak Saifullah tidak terlalu mengeluh soal nasibnya sebagai Guru Honorer yang telah dijalani selama 20 Tahun. Ia selalu ingat pesan dari almarhum Bapaknya.

"Menjadi Guru itu tugas mulia karena mencerdaskan bangsa, uang bukanlah kiblat kita semata dalam melakoni pekerjaan ini. Tapi ada rasa puas dan kebahagian tersendiri manakala melihat anak didik kita berhasil".

Begitulah kurang lebih pengakuan bapak satu anak ini menirukan pesan yang disampaikan oleh almarhum Bapaknya dulu.

Apa yang dilakukan oleh Saifullah merupakan salah satu contoh keadaan Guru yang terus berjuang demi anak didiknya. Sebagai generasi penerus bangsa saat ini yang perlu mendapatkan pendidikan sebagai hak mereka.

Penulis menyadari tidak mudah melakukan terobosan baru agar tercapai tujuan pendidikan yang maksimal di tengah ketidak-pastian karena kondisi Corona. 

Ada ribuan guru dan murid-muridnya, termasuk orang tua, yang sedang melakukan perjuangan yang sama, sebagaimana yang dilakukan oleh BapakSaifullah.

Tanpa guru kita bukanlah apa-apa, juga bukansiapa-siapa. Semoga pandemi Covid 19, segera berakhir, agar proses belajar kembali berlangsung seperti sediakala. Diluar sana begitu banyak guru yang sudah merindukan melihat langsung seyuman anak didiknya, pun sebaliknya siswa yang merindukannya gurunya.

Banda Aceh, 27 Juli 2020
Moehib Aifa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun