Mohon tunggu...
Moehammad Abdoe
Moehammad Abdoe Mohon Tunggu... Penulis - Sastrawan Indonesia

Moehammad Abdoe, lahir di Malang, pelopor komunitas Pemuda Desa Merdeka, menulis puisi, cerpen, dan opini di media massa nasional.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Di Balik Helaian Daun Tebu

29 Desember 2024   17:47 Diperbarui: 12 Januari 2025   16:08 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Apakah benar beliau memulai semua ini dari nol?" tanyaku dengan rasa ingin tahu yang mendalam, membayangkan seorang pionir yang memulai sebuah revolusi industri di tanah yang masih asing baginya.

"Benar sekali," jawab ayahku, mengangguk. "Willem Hendrik datang ke sini pada tahun 1855, dan melihat potensi tanah Malang untuk menanam tebu. Ia membeli sebidang tanah yang luas dan mulai membangun pabrik ini. Pabrik ini bukan hanya menjadi tempat pengolahan gula, tetapi juga menjadi pusat kehidupan ekonomi dan sosial bagi daerah sekitarnya."

Kami melanjutkan perjalanan melewati lorong-lorong pabrik, melewati mesin-mesin tua yang terus berdengung. 

Dalam pikiranku, aku membayangkan suasana tahun 1855, yang mana Willem Hendrik dan timnya bekerja keras menyiapkan semua peralatan dan menyusun strategi. Aku membayangkan bagaimana pabrik ini dibangun dari lantai hingga atap, dengan para pekerja yang berdedikasi dan tenaga yang tak kenal lelah.

"Pabrik ini tidak langsung sukses," ayahku melanjutkan ceritanya. "Pada awalnya, mereka menghadapi banyak tantangan. Teknologi pengolahan gula saat itu masih baru bagi daerah ini. Ada masalah dengan pasokan bahan baku dan juga teknologi yang belum sepenuhnya dipahami." Suara ayahku penuh dengan penghargaan terhadap perjuangan yang telah dilakukan.

Ketika kami mencapai area penggilingan tebu, aku bisa membayangkan keringat dan usaha yang dituangkan ke dalam setiap proses. Mesin-mesin besar itu seakan hidup kembali dalam khayalanku, berputar dengan semangat yang tak tertandingi. Aku membayangkan bagaimana Willem Hendrik dan para pekerjanya harus memikirkan setiap langkah dengan cermat, mengatasi tantangan demi tantangan yang muncul.

"Pernah ada cerita tentang bagaimana Willem Hendrik hampir menyerah," ayahku melanjutkan, "Namun, dengan keteguhan hati dan dukungan dari masyarakat sekitar, ia terus berjuang. Lambat laun, hasilnya mulai tampak. Pabrik ini mulai dikenal sebagai salah satu penghasil gula terbaik di Jawa Timur." Seiring cerita ayahku, aku merasakan betapa luar biasanya pencapaian Willem Hendrik dalam menghadapi berbagai rintangan.

Sementara itu, aku berdiri di depan mesin penguapan yang memproses cairan tebu menjadi gula kristal. Suara mendidih dan aroma manis menyelimuti udara, mengingatkan aku pada kerja keras yang telah dilakukan oleh generasi sebelumnya. Melihat bagaimana gula kristal mulai terbentuk, aku bisa merasakan kepuasan yang mungkin dirasakan oleh Willem Hendrik ketika melihat hasil jerih payahnya.

"Ayah, bagaimana reaksi masyarakat saat pabrik ini mulai berhasil?" tanyaku, membayangkan suasana gembira yang mungkin ada pada saat itu. Rasa ingin tahuku tentang dampak pabrik ini pada masyarakat sekitar semakin mendalam.

"Pabrik ini membawa banyak perubahan bagi masyarakat," jawab ayahku. "Ekonomi lokal berkembang pesat, banyak pekerjaan baru tercipta, dan masyarakat sekitar mulai merasakan manfaat dari keberadaan pabrik ini. Selain itu, pabrik ini juga menjadi pusat kegiatan sosial, tempat orang-orang berkumpul dan berbagi cerita." Aku membayangkan bagaimana pabrik ini tidak hanya menjadi pusat ekonomi, tetapi juga menjadi bagian dari kehidupan sosial masyarakat.

Di sela-sela obrolan kami, seorang karyawan pabrik bernama Pak Arif, yang sudah bekerja di pabrik ini selama lebih dari dua dekade, bergabung dengan kami. Pak Arif adalah sosok yang sangat dihormati di pabrik ini, dan ia memiliki pengetahuan mendalam tentang sejarah pabrik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun