Aku duduk berdampingan bersama istriku. Duduk di tengah-tengah mereka yang kini nampaknya sedang bahagia. Kami, aku dan istriku, hanya bisa melihat mereka tersenyum bahagia. Aku dan istriku sadar kalau telah salah meninggalkan anak-anak kami sejak 10 tahun yang lalu.
Kini kami datang untuk menghadiri pertunangan anak pertama kami, Siti namanya. Dulu ketika kami meninggalkan dia, dia adalah anak yang sangat baik penurut kepada orang tuanya. Dan semoga dia tetap menjadi perempuan yang penurut dan mengabdi kepada suaminya nanti.
Sebenarnya aku dan istriku sudah datang sejak sore tadi. Melihat kesibukan kakak dan adik-adik kami yang selama ini mengasuh Siti dan adik-adiknya. Kakak dan adik-adik kami sering disebut Pak dhe atau Pak lik oleh Siti. Ya… mereka sangat membantu kami, membantu menjaga anak-anak kami.
“Ayo do sholat dhisik… (Ayo, sholat dulu…) sebentar lagi tamunya datang!” ucap Kakakku Tin kepada sanak saudara yang sudah berkumpul di rumah sederhana kami ini. Rencananya memang calon suami anakku hadir sehabis maghrib. Makannya tidak salah jika Kakakku Tin meminta kami semua yang hadir untuk sholat terlebih dahulu.
Sebenarnya aku juga kangen dengan anak-anakku yang lainnya, bukan hanya Siti. Umam, Marzuki dan anak kedua kami, Bagus. Aku bisa melihat senyuman mengembang di raut wajah anak-anakku kecuali Bagus. Aku tidak melihatnya semenjak kedatanganku tadi sore. Begitu juga dengan istriku yang nampak tidak melihatnya juga. Apakah dia tidak bisa hadir di pesta pertunangan kakaknya sendiri?
“Nduk, Aku, Bapakmu dan Ibu-mu merestui hubunganmu dengan pilhanmu itu. Kami percaya kalau pilihanmu tidak salah. Maafkan kesalahan kami ya, Nduk. Semoga kalian bahagia sampai akhir hayat kalian.”
***
Siti senang bukan main. Tidak lama lagi dia akan dipinang oleh seorang laki-laki yang dia idam-idamkan. Sejak dulu dia berprinsip, bukan karena kualitas wajah, dompet atau pangkat, tapi agama lah yang pertama. Ya… itulah prinsip yang dia pegang dalam mencari pasangan.
Bu dhe Tin mengingatkan semua orang untuk sholat maghrib. Siti dan beberapa kerabat-pun menjalakan sholat bergantian karna memang rumahnya sederhana, tidak terlalu luas. Sehabis dia menunaikan sholat maghrib, dia berdandan dengan sebaik-baik dandanan. Tak pernah dia berdandan seperti ini. Mungkin ini adalah yang pertama dalam hidupnya. Semua dia lakukan hanya untuk menyambut calon imamnya suatu hari nanti.
Tiba-tiba air mata Siti mengalir di pelupuk matanya. Dia teringat akan sosok Bapak dan Ibunya yang telah meninggalkan dia dan adik-adiknya 10 tahun yang lalu. “Semoga kalian tahu, kalau aku, anakmu ini akan dipinang wahai Bapak dan Ibuku,” batin Siti. Nampaknya dia sangat merindukan bapak dan ibunya. Namun, bagaiamanapun juga dia tidak akan tahu dimana Bapak Ibunya sekarang ini.
Selain ingat Bapak Ibunya, ternyata Siti juga sedih ketika dia mengingat adiknya, Bagus. Dia mengabari adiknya itu kalau dia akan dilamar oleh lelaki beberapa waktu lalu. Namun, Bagus tidak dapat pulang dari Jakarta. “Mungkin salahku juga ngabarinya mendadak!” Siti menyalahkan dirinya sendiri atas ketidak bisa hadirannya Bagus dalam pertunangannya ini.
Rombongan pelamar sudah datang. Mereka memasuki rumah sederhana Siti satu persatu. Salam demi salam terlontar, begitupun juga jawaban-jawaban salamnya. Ruang tamu rumah Siti yang tidak terlalu besar itupun terisi penuh dalam waktu yang tidak lama, 30 detik mungkin. Nampaknya ruangan itu didominasi oleh wajah-wajah orang tua dari pihak pelamar dan pihak keluarga Siti. Siti berada di pojok.
Pembicaraan serius kini dimulai. Pembicaraan yang akan berpengaruh dalam sisa hidup Siti. Namun, Siti tidak pernah takut karna dia sudah mantap dengan laki-laki itu.Oleh karena itu ketika dia ditanya apakah dia terima lamaran lelaki itu, dia menjawab dengan mantap kalau dia menerimanya, meskipun agak malu sedikit. Kini, Siti sudah terikat. Air matanya kembali menetes, air mata bahagia.
***
Aku merasakan tubuhku lelah sekali. Punggungku serasa sudah tidak mampu menyangga tubuh ini. Aku ingin merebah saja. Nampaknya tubuhku sudah terforsir oleh kuliah dan tugas-tugasnya seharian ini. “Jika memang harus seperti ini, akan aku jalani dengan ikhlas,” aku mencoba menguatkan diriku sendiri.
Tak lama setelah aku membaringkan tubuhku, sebuah pesan pendek aku terima lewat Hp-ku. Sebuah kabar gembira dari tempat yang jauh, di ujung pulau utara jawa. Kakakku Siti akan dilamar oleh laki-laki yang pernah dia ceritakan kepadaku beberapa bulan lalu. Membaca pesan singkatnya itu membuatku kembali semangat.Kakakku Siti akan dilamar …
Sayang seribu sayang, aku tidak bisa datang. Kakakku Siti terlalu mendadak memberitahuku berita gembira ini. Seandainya dia memberi tahu satu minggu sebelum acara, pasti akan ku sisihkan untuk uang pulang. Namun, kenyataannya aku tidak punya uang untuk beli tiket kereta dan bis. Aku harus mengubur impian untuk pulang ke rumah menyaksikan kakakku dipinang oleh lelaki idamannya.
Kakakku akan dilamar… aku teringat akan sosok yang sangat berarti ketika kami, Ka Siti, aku, Umam, dan Marzuki, masih kecil. Mereka adalah bapak dan ibu kami yang telah pergi meinggalkan kami 10 tahun yang lalu. Aku berdo’a semoga mereka bisa hadir di pertunangan kakak dan merestui mereka.
Ahh… seandainya saja aku bisa hadir di pertunangan itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H