Mohon tunggu...
Moedja Adzim
Moedja Adzim Mohon Tunggu... -

fakir pandir yang berpikir

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Surat Cinta untuk Bumi

7 September 2010   14:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:22 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebatas mata memandang, sepertinya engkau telah banyak berubah. Seperti kekasih yang bertanya kepada pujaan hati, akan ku tanyakan pertanyaan itu kepadamu. BUMI bagaimana kabarmu? Apakah engkau baik-baik saja? Namun tak perlulah kau jawab BUMI, cukuplah para penghunimu menundukan kepala dengan mata terpejam. BUMI masih sudikah kau berteman denganku? atau kini, kau sudah bosan dan muak melihat lakuku? Namun tak perlulah kau jawab BUMI, cukuplah para penghunimu menundukan kepala dengan mata terpejam. BUMI, sekiranya mataku tak dapat lagi melihat indahmu, hidungku tak mampu lagi menghirup baumu, dan kakiku tak sanggup lagi berjabat denganmu. Sudikah engkau menerimaku? Namun tak perlulah kau jawab BUMI, cukuplah para penghunimu menundukan kepala dengan mata terpejam. Mungkin engkau cemburu, atau mungkin kau kini acuh denganku.. Karena aku terlampau lama menatap langit, lupa dengan apa yang ku tapaki. Aku terlanjur candu dengan angan dan mimpi, sampai kadang lupa bahwa aku akan mati. Kutanyakan lagi padamu, BUMI. Seberapa lama aku menundukan wajah dengan hati merendah dibanding aku menengadah sambil membusungkan dada dengan angkuhnya? Namun tak perlulah kau jawab BUMI, cukuplah para penghunimu menundukan kepala dengan mata terpejam. BUMI, sungguh aku takut, aku sangat takut, bila pemilikmu menjadikan gunung seperti anai-anai yang beterbangan. BUMI, sungguh aku malu, aku sangat malu, selalu mendzolimimu sementara engkau terus mengasihiku. Wajarlah adanya bila engkau murka sejadi-jadinya. Muntahkan lahar panas karena hutanmu kami balak. Wajarlah adanya bila engkau murka sejadi-jadinya. Tinggikan gelombang karena kami mencemar airmu. Wajarlah adanya bila engkau murka sejadi-jadinya. Engkau seakan berteriak, saat kami berguncang karena kerasnya getar teriakmu. BUMI, mungkin tak pantas kami dijadikan pemimpin di mukamu. Namun sesungguhnya Rabb itu maha tahu. Ku sapa engkau sekali lagi, BUMI. Namun tak perlulah kau jawab BUMI, cukuplah para penghunimu menundukan kepala dengan mata terpejam. BUMI masihkah boleh aku bertanya kepadamu? Sekiranya engkau sudi, maukan kau membalas suratku??? Namun tak perlulah kau jawab BUMI, cukuplah para penghunimu menundukan kepala dengan mata terpejam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun