Syahrini dan Miley Cyrus Sama-sama Cari Makan dengan Cara Kreatif
Saya suka main dukun-dukunan. Mengamati seseorang sebentar saja, langsung merasa bisa menebak kepribadiannya. Saya menganggap Syahrini sebagai wanita yang cerdas meski kerap di-bully di media sosial.
Beberapa tahun lalu Syahrini meledakkan jargon 'sesuatu' diikuti penampilan sasak gorong-gorong atau apalah itu saya tak terlalu memperhatikan. Gaya berbicaranya pun manja memesona jutaan ibu-ibu, baik karyawati maupun ibu rumah tangga, yang tak secetar dirinya. Lambat laun berbagai postingannya di media sosial menuai puja sekaligus cibiran. Saat melihatnya bertutur kata manja dalam penampilan glamor dalam tayangan kabar kabur, saya yakin dia sedang bercanda.
Namun jangan disangka saya tidak mengagumi karya seni Syahrini sebagai penyanyi. Untuk urusan itu, kualitasnya memang nomor satu. Tak mungkin, dong, musisi Anang Hermansyah melejitkannya bila bakatnya biasa-biasa saja?
Kembali pada kekonyolan Syahrini, saya yakin ada otak kreatif yang mengendalikan popularitasnya. Orang itu pasti telah merancang sensasi sedemikian rupa supaya Sang Diva tak sepi order. Karena tanpa sensasi, warga di pelosok negeri jadi tidak penasaran dengan kehadiran dan suara merdunya.
Rumor, celaan, atau pujian menjadi bagian strategi marketing masa kini. Baik atau buruk, pemberitaan adalah promosi di dunia selebriti. Promosi itu penjualan.
Sensasi juga merupakan alat pencitraan yang riskan mengakhiri nasib pelakunya bila tak dikelola dengan baik. Namun, dampaknya berlipat ganda bila ditangani dengan cerdas. Syahrini dengan jargon dan ilusi kehidupan bagai dongeng adalah contoh branding yang sukses. Citra itu memuaskan dorongan bawah sadar banyak wanita akan sosok Cinderella yang mereka idamkan. Hasilnya, mereka kecanduan dan menanti fantasi apalagi yang akan diberikan Sang Panutan.
Apakah Anda yakin Syahrini betul-betul semanja dan konyol seperti yang ia tampilkan di media massa? Coba perhatikan sosoknya di awal-awal karir, sebelum menyudahi kerja sama dengan mantan suami Krisdayanti itu.
Selain Syahrini, ada banyak pesohor yang memanfaatkan sensasi dalam timing dan takaran yang pas.
Miley Cyrus adalah contoh fenomena sensasi klasik. Metamorfosa penyanyi cilik menjadi ikon seks yang memeragakannya secara eksplisit melalui penampilan telanjang atau aksi panggung yang vulgar menjadi momentum sempurna untuk peralihan pangsa pasar bisnisnya. Sensasi itu lebih efektif dan dahsyat dibandingkan cara promosi konvensional dengan menjual album rekaman dari satu stasiun radio ke stasiun televisi lainnya.
Ketika posisinya sudah stabil di ranah penyanyi dewasa, Miley Cyrus menyudahi 'kegilaannya' dan kembali dengan cita rasa musikalitasnya yang khas. Malibu, lagu terbaru mantan pelakon Hannah Montana ini menunjukkan sosok Miley sebagai wanita dewasa pada umumnya. Di video klip itu, kita diperlihatkan jati diri yang sesungguhnya; american sweetheart nan sederhana.
Salah strategi dalam merancang sensasi dapat berakibat buruk, terutama secara finansial. Sensasi anti Kristus yang menjadi propaganda Lady Gaga, misalnya, membatasi penghasilannya. Penyanyi ini jadi tidak bisa ikut meraup royalti yang tak kunjung henti melalui album bertema Natal. Padahal, album Natal adalah passive income para penyanyi dunia karena akan selalu diputar setiap tahun oleh stasiun radio atau televisi. Tentu tidak logis bila Lady Gaga muncul di acara Natal membawa lagu rohani. Masyarakat akan menemukan kejanggalan. Para penggemarnya pun tentu merasa dikhianati.
Seharusnya pesohor berlabel Mother Monster itu belajar dari Mariah Carey yang sensasinya hanya seputar personifikasi sosok diva yang banyak tuntutan. Tak saja mewajibkan dua vas mawar putih untuk kamar hotel dan ruang ganti konser pribadinya, dalam lokasi syuting film komedi terbaru The House yang akan rilis tahun ini pun pelantun Hero ini mencoba mengubah skenario karena ia tak suka karakternya ditembak mati. Sensasi yang cukup merepotkan staf-nya, namun tetap menjanjikan rezeki berlimpah bagi seluruh tim yang bekerja sama dengan wanita pengagum Marilyn Monroe itu.
Apakah Anda terhibur dengan sensasi mereka? Saya yakin kita pernah terhibur entah karena menganggap perbuatan mereka konyol, atau aksinya terlalu ekstrem bagi kehidupan kita yang cenderung biasa-biasa saja.
Pada akhirnya, kita bisa menarik benang merah. Dibalik semua sensasi itu, ada kreativitas dan strategi untuk menggerakkan roda perekonomian industri hiburan. Ada perputaran uang. Yang terhibur membayar karcis untuk tontonan. Yang memutar otak menggubah sensasi memperoleh hasil kerja keras yang setimpal. Sensasi adalah salah satu esensi penting dalam bisnis hiburan.
"There's no business like showbusiness."
Irving Berlin, komposer legendaris Amerika.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H