Gampang terhasut hoaks
Sedih ya, kelar hoaks yang satu sudah dihilangkan, masyarakat kena lagi hoaks yang lainnya. Sebenarnya, kenapa sih orang Indonesia gampang terhasut hoaks?
Jangankan video, link berita dengan judul tendensius saja belum tentu dibaca dulu yang penting buru-buru di-share apalagi soal video. Menonton hingga tuntas saja sudah susah apalagi menganalisa dengan cerdas dan adil. Pada titik ini, wajar kalau misinformasi, disinformasi hingga hoaks merajalela. Salah satu penyumbang intoleransi adalah hoaks. Kita ingin negara hadir dengan melahirkan kebijakan untuk mencari titik tengah pelibatan pengusaha internet dan masyarakat untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Peran society control
Media adalah pilar ke 5 dalam suatu negara, jadi kita punya tanggung jawab untuk peran society control. Khusunya dalam konten positif. Karena menyebarkan konten-konten yang baik dan positif itu harus. Sebab, beberapa bagian dari pemikiran manusia terbentuk oleh perspektif. Menyerap asupan informasi positif akan mempengaruhi pula perspektif menjadi lebih positif.
Lewat gadget memang banyak informasi fakta yang beredar. Sayangnya informasi yang mereka dapatkan juga bukan berasal dari media yang bisa dipercaya, melainkan dari media sosial yang lebih banyak dipenuhi oleh opini, bukan fakta. Bahkan sebaliknya, mereka malah percaya dengan portal-portal fake news dan akun-akun penyebar hoaks itu.
Minat baca sangat rendah
Fakta pertama, Unesco menyebutkan Indonesia urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, artinya minat baca sangat rendah. Menurut data Unesco, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. Perlu dan harus mencari data yang lengkap, tidak langsung percaya apa yang didapatkan pertama kali. Banyaklah membaca agar tidak dibodohi dan jangan membodohi ketika sudah banyak membaca.
Masuk era post-truth
Era dimana berkaitan kepada keadaan di mana fakta-fakta obyektif kurang berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibandingkan emosi dan keyakinan pribadi. Di era Post-Truth sekarang orang tidak lagi mencari kebenaran dan fakta melainkan dukungan atas keyakinan yang dimilikinya. Pusing tidak sih melihat semua arus informasi yang dilihat sekarang kebanyakan penuh dengan caci maki, hina menghina bahkan sumpah serapah. Hanya karena beda informasi (hoaks), beda pendapat atau lebih jauh lagi karena pilihan politik.
Seandainya aku jadi Menag, ini caraku lawan konten negatif di media sosial
- Menyebarkan konten positif
Menurut data dari livenet hampir satu dari setiap dua orang di internet mengunjungi YouTube, lebih dari 4 miliar video dilihat setiap hari dan lebih dari 800 juta pengguna unik mengunjungi YouTube setiap bulannya.
Di Indonesia beberapa membawa perubahan 1%, ini masih lebih baik daripada orang-orang yang malas akan perubahan dan hanya bisa nyindir karena mereka membawa perubahan 0%. Jadi intinya menyebarkan konten positif dan meningkatkan kesadaran lewat medsos ada pengaruhnya. Berharap makin banyak digital contents creator di tanah air yang bisa menciptakan konten-konten positif dengan cara yang unik dan kreatif. Sebab hanya dengan cara itu maka konten itu bisa membekas di benak jutaan anak muda generasi digital yang merindukan inspirasi.
Pesan-pesan positif tentang kebaikan, respect for diversity dan kecintaan terhadap kemajuan ilmu pengetahuan tidak bisa hanya dikabarkan dengan cara birokrat yang membosankan. Di era digital ini, pesan-pesan positif itu harus dikemas secara inovatif dan atraktif. Saya pikir, pemerintah dapat dikatakan tidak serius membangun karakter bangsa bila hal tersebut tidak menjadi bagian dari gerakan pencerdasan bangsa. Stop kegiatan-kegiatan yang hanya seremonial belaka, konkret ke tindakan nyata.
Kurangnya "Role Model Baik" di kalangan anak-anak pada era sekarang. Zaman 90-an mungkin kita banyak melihat tokoh masyarakat muncul menjadi role model. Saya ingat betul kehadiran almarhum KH Zainudin MZ dai sejuta umat yang penuh kharisma, muncul juga Aa Gym yang penuh kesejukan. Nah sekarang saatnya membuat konten-konten positif penuh dengan nilai edukatif. Show up lah para pemuda pejuang bangsa, role model untuk kita semua. Karena itulah ladang amal kalian. Mungkin bertanya, kalo kita belum menjadi orang "baik" atau role model yang baik, apa yang bisa kita lakukan?
Maka, sekarang yuk berbarengan kita isi semua konten arus informasi era kekinian dengan konten positif, menyebarkan informasi yang semestinya, ataupun membantu orang lain. Itu bisa jadi ladang amal kita. Yuk bareng-bareng kita merubahnya. Saya yakin, kita bisa jika bersama. Terlebih konten menginspirasi dalam hal positif bisa juga seperti berbagi pengalaman volunteering, advokasi dan hal lain yang bisa jadi kontrubusi untuk negeri seharusnya lebih di boomingkan dibanding harus merebakkan konten yang nyatanya bisa merusak moral.
Terima kasih,
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H