Mohon tunggu...
Muhtarul Alif
Muhtarul Alif Mohon Tunggu... Mahasiswa - Peneguk Manisnya Kalam Ilahi

Seorang mahasiswa Ilmu Al-Quran dan Tafsir Institut PTIQ Jakarta Program Kader Ulama Masjid Istiqlal dan alumni Pesantren Pasca Tahfidz Bayt al-Quran PSQ

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Al-Syanqithi, Ulama Besar Salafi dan Sikapnya terhadap Ayat Mutasyabihat

6 Januari 2023   17:14 Diperbarui: 6 Januari 2023   17:20 590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perdebatan Seputar Ayat Mutasyabihat

Salah satu aspek dalam al-Quran yang sering memicu perdebatan adalah ayat-ayat mutasyabihat. Masalah teologi tersebut acap kali meruncing di antara aliran-aliran kalam yang ada di antara kaum muslimin.

Ayat-ayat sifat misalnya, secara umum umat Islam terbagi menjadi tiga cara dalam memahaminya. Mazhab pertama menetapkan sebagaimana makna tekstualnya, sehingga acapkali menisbatkan sifat-sifat makhluk, seperti bertempat, berpindah, serta beranggotakan badan kepada Allah SWT. Aliran ini dikenal sebagai golongan mujassimah atau antropomorphism.

Kelompok kedua cenderung mentakwil dan memahaminya dalam makna kiasan. Hal ini karena, menurut mereka, memaknai ayat-ayat tersebut apa adanya dapat menjerumuskan kepada tajsim dan tasybih. Cara pandang ini banyak dianut oleh ulama khalaf dan sebagian ulama salaf.

Cara pandang ketiga disebut tafwidh, yaitu menyerahkan ilmunya hanya kepada Allah SWT. Mereka tidak menetapkan sebagai makna tekstual, sekaligus tidak memahaminya secara majazi. Menurut kelompok ini, memaknai secara literal dapat menjerumuskan diri kepada paham tajsim, sedangkan mentakwilkannya dianggap sebgai mengatakan sesuatu mengenai sifat Allah SWT. dengan prasangka. Perspektif ini dapat dijumpai dalam sebagian besar generasi salaf, dan beberapa ulama khalaf. (Abdul Fattah al-Yafii, 2010, h. 182)

Salafi sebagai aliran yang mendaku sebagai pengikut salaf, mengutamakan penggunaan tafwidh dalam memahami ayat mutasyabihat. Akan tetapi, klaim salafi seringkali dibantah oleh sebagian ulama dan diberi label sebagai kelompok mujassimah. (Lihat Hasan bin Ali Al-Saqqaf, al-Salafiyah al-Wahabiyah, 2009)

Al-Syanqithi merupakan contoh dari salah seorang mufassir alim bermanhaj salafi. Karya-karya dan pemikirannya mendapat sanjungan dan pujian dari berbagai ulama. Kitab karangannya dalam bidang tafsir yang terkenal bernama "Adhwa' al-Bayan fi Idhah al-Quran". Terlebih beliau secara khusus telah mencatatkan pemikirannya dalam karyanya yang berjudul "Manhaj wa Dirasat li Ayat al-Asma' wa al-Sifat", sehingga pendirian beliau dapat diketahui secara terang benderang.

Biografi Ringkas Al-Syanqithi

Nama lengkap Al-Syanqithi adalah Muhammad al-Amin Ibn Muhammad al-Jakni al-Syanqithi. Ia lahir di daerah bernama Syanqith (Mauritania) pada tahun 1325 H/1897 M. Adapun penisbatan al-Jakni pada namanya berakar dari nama nenek moyang al-Syanqithi, yaitu Jakin al-Abar.

Al-Syanqithi pada awal studinya, menimba ilmu khat Ustmani dan tajwid dan kepada Syekh Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad al-Mukkhtar, saudara sepupunya sendiri. Ia telah hapal al-Quran pada usia 10 tahun di bawah pengawasan Syaikh Abdullah Ibn Muhammad al-Mukhtar, yang tidak lain adalah pamannya sendiri.

Setelah cukup lama meneguk pengetahuan kepada beberapa ulama terkenal di negerinya, al-Syanqithi kemudian melakukan rihlah ilmiyah ke Mekkah. Perjalanan yang semula ia niatkan untuk melakukan ibadah haji, kemudian berubah haluan akibat rasa dahaganya terhadap keluasan ilmu. Ia pun pergi ke Madinah al-Munawwarah untuk menempa diri di bawah bimbingan Syaikh Abdul Aziz Ibn Shalih dan Syaikh Abdullah al-Azim. 

Beliau banyak belajar kitab-kitab fiqih dan pemikiran Ibn Taimiyah, sebelum akhirnya menjadi salah seorang pengajar tafsir di Masjid Nabawi. Beberapa murid al-Syanqithi yang terkenal adalah Syaikh Abdul Aziz Ibn Baz,  Syaikh Atiyah Muhammad Salim, Syaikh Bakr Ibn Abdullah Abu Zaid, dan kedua putranya, Syaikh Abdullah dan Syaikh Muhammad al-Mukhtar.

Al-Syanqithi merupakan sosok yang produktif dalam menghasilkan berbagai karya. Beberapa di antaranya adalah Hikmat al-Tasyri', al-Mashalih al-Mursalah, Alfiyah fi al-Manthiq, dan Adhwa' al-Bayan fi Bayan al-Quran. Al-Syanqithi wafat pada tahun 1393 H/1972 M pada usia 65 tahun. (Abdul Haris, 2017, h. 2)

Sikap Al-Syanqithi Terhadap Takwil

Takwil dalam perspektif ulama ushul fiqih berarti memalingkan redaksi teks dari makna dhahir kepada kandungan makna marjuh karena adanya suatu indikator. Takwil dalam pengertian ini, menurut Al-Syanqithi, terbagi menjadi tiga:

  • Takwil sahih dan qarib (dekat), yaitu memalingkan makna karena adanya indikator sahih dari al-Quran dan hadist. Al-Syanqithi memberikan contoh sebuah pentakwilan hadist yang masuk dalam kategori ini

  • "Tetangga itu lebih berhak karena kedekatannya"
  • Secara tekstual, hadist tersebut berkaitan dengan penetapan syuf'ah untuk tetangga, tanpa syarat apapun, termasuk kepada harta yang belum dibagi. Akan tetapi, makna tersebut dipalingkan kepada makna potensial karena adanya hadis sahih riwayat Jabir.

  • "Maka apabila batasan telah ditetapkan dan peraturannya telah diatur, maka syuf'ah tidak diatur".
  • Implikasi dari hadist Jabir adalah pentakwilan hak syuf'ah hanya berlaku bagi orang yang bersekutu yang telah ditetapkan bagiannya. Takwil tersebut, menurut al-Syanqithi adalah takwil yang sahih dan diperbolehkan.
  • Takwil ba'id (jauh). Al-Syanqithi mendefinisikan jenis takwil ini sebagai upaya memalingkan makna karena adanya sesuatu yang disangka sebagai dalil oleh seorang mujtahid, namun faktanya bukan merupakan dalil atau indikator. Contohnya adalah hadist:

  • "Siapapun perempuan yang menikah tanpa seizin walinya, maka pernikahannya bathil"
  • Imam Hanafi mentakwil perempuan dalam konteks hadis tersebut sebagai seorang budak mukatabah, akan tetapi, Al-Syanqithi membantah pentakwilan tersebut dengan argumen bahwa, redaksi "ay" pada lafaz tersebut memiliki faidah umum. Sighat umum tersebut kemudian dikuatkan (taukid) dengan imbuhan "ma" berfaidah ziyadah, sehingga memalingkan maknanya kepada sesuatu yang langka, seperti mukatabah adalah takwil tanpa dalil pasti dan wajib untuk ruju' (mencabut) pendapat tersebut.
  • Takwil tala'ub (manipulasi). Takwil dengan tipe ini tidak laik dinamakan takwil secara istilah, namun lebih pantas dinamakan manipulasi terhadap Kitab Allah dan hadist Rasulullah saw. Penafsiran Syiah  ekstrem (ghulat) dan rafidhah termasuk dalam kategori ini. Contohnya adalah ketika mereka menafsirkan ayat "inna Allah ya'murukum an tazbahu baqarah" dengan mentakwilkannya kepada Aisyah ra. Begitu juga termasuk dalam kategori ini menafsirkan redaksi "istiwa" dengan makna "istawla" (menguasai). Al-Syanqithi mengatakan bahwa seandainya maknanya demikian, maka Rasulullah saw. tentu telah menjelaskannya, karena tidak patut bagi Rasul untuk menunda penjelasan ketika dibutuhkan.

Sikap Al-Syanqithi terhadap Ayat Sifat

Al-Syanqithi setidaknya menggariskan tiga prinsip penting dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat, khususnya berkaitan dengan ayat asma' dan sifat. Berikut adalah kaidah penting tersebut:

  • Mensucikan Allah SWT. dari menyerupakan makhluk
  • Mengimani sifat yang telah ditetapkan melalui Al-Quran dan Sunnah, serta menghindarkan diri dari menganulir sifat yang telah ditetapkan Allah untuk dirinya sendiri.
  • Membuang jauh-jauh keinginan untuk mengetahui kaifiyah (bagaimana) sifat-sifat Allah SWT.  

Sebagai implikasi dari ketiga sikap tersebut, Al-Syanqithi menafsirkan ayat-ayat seperti "Innallah kana 'aliyyan kabira", "'alimul ghaibi wa al-syahadah", yadullah fawqa aydihim", serta ayat lainnya yang mengandung sifat-sifat yang juga dimiliki oleh makhluk, dengan mengatakan bahwa sifat-sifat Allah SWT. tersebut sesuai dengan keagungan, kesempurnaan, dan kesucian diri-Nya. (Al-Syinqithi, Manhaj wa Dirasat li Ayat al-Asma wa al-Sifat)

Kritik Terhadap Pemikiran Al-Syanqithi

Adapun untuk membantah kerancuan pemikiran Al-Syanqithi serta ulama salafi lainnya, penulis tidak mempunyai kompetensi dalam hal tersebut. Oleh karena itu, penulis akan mengutip bantahan dari seorang ulama besar, muhaddis, faqih, dan mufassir abad ke-6 H. Al-Hafidz Ibnul Jauzi.

  • Perkataan bahwa Allah mempunyai sifat sama' (Mendengar) dan bashar (Melihat), namun tidak menyerupai sifat makhluk,  mungkin masih bisa diterima akal. Hal ini karena bisa saja kita tetapkan bahwa Allah mendengar dan melihat tanpa perlu alat pendengaran dan penglihatan. Akan tetapi, bagaimana dengan sifat julus (duduk), harakah (berpindah)? Sifat harakah dan nuzul misalnya, kedua sifat tersebut kendati dapat dinyatakan bahwa Allah harakah dan nuzul tanpa alat, namun definisi harakah yang meniscayakan adanya perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, justru akan menjatuhkan seseorang kepada penyerupaan terhadap makhluk. (Ibn al-Jauzi, tt., h. 9)
  •  Para sahabat dan ulama lain mentakwilkan ayat sifat, meski tidak didukung indikator dari al-Quran dan hadist. Ibn Abbas misalnya, mentakwilkan redaksi "saaqin" ayat "yauma yuksyafu 'an saaqin" (Pada hari ketika betis disingkap) dengan perkara yang berat. Beliau juga menafsirkan lafadz "aydin" dalam "wa al-sama'a banaynaha bi aydin" dengan kekuatan. Penafsiran Ibn Abbas tersebut dapat dilihat dalam karya tafsir al-Thabari. Banyak pentakwilan lain juga dilakukan oleh ulama salaf, hal ini banyak disebutkan dalam Tafsir al-Thabari.
  •  Ulama Ahlus Sunnah sepakat akan kebolehan tafwidh, namun tafwidh versi ulama salaf berbeda dengan tafwidh perspektif salafi. Perbedaan mendasar keduanya adalah bahwa ulama salaf mengimaninya serta mentafwidhkan makna dan meniadakan kaifiyah bagi Allah. Sedangkan ulama salafi kendati mentafwidhkan maknanya, namun menetapkan adanya kaifiyah yang laik bagi kemuliaan Allah. Mengenai mazhab tafwidh, Imam Tirmidzi mengatakan, "Mazhab yang dianut Imam-imam ahli ilmu seperti Sufyan al-Sauri, Malik Ibn Anas, Ibn al-Mubarak, Ibn Uyaynaah, Waki' dan lainnya ketika ditanyai mengenai hadist-hadist sifat mengatakan, "Hadis tersebut diriwayatkan, kami mengimaninya dan tidak mengatakan kaifa".(Ibn al-Jauzi, Daf'u al-Syubah al-Tasybih, tt.,h. 21).

Demikianlah pendapat al-Syanqithi beserta bantahan terhadapnya. Semoga Allah SWT. menerima segala amal kebaikannya dan mengampuni segala dosanya. Wallahu A'lam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun