Mengurai dan merajut benang merah, sebuah cara dan langkah yang tidak mudah. Namun kalau kita lakukan bersama maka akan dapat menghasilkan sesuatu yang berharga. Merajut adalah tehnik mengubah benang rajut menjadi kain, busana atau benda-benda yang bernilai. Artinya, dengan halal bi halal kita saling sama-sama mengakui kesalahan dan memaafkan demi kehidupan ke depan lebih baik dan bermakna.
"Kalau kita itu sudah nol-nol, maka kehidupan kita akan harmonis," papar H. Moch. Isnaeni dalam tausiah Halal-Bi Halal keluarga besar SMPN 6 Klaten, di RM Mayar By Pas Klaten, Kamis (18/4). Menurutnya istilah halal bihalal yang banyak digunakan masyarakat Indonesia saat berkumpul dengan sanak saudara dan kerabat hanya dikenal seusai perayaan Idul Fitri.
Meskipun istilah tersebut, lanjut Sekretaris FKUB (Forum Kerukunan Umat beragama) Klaten, mengandung unsur bahasa Arab, tetapi kata halal bihalal tidak ditemukan dalam kamus Arab modern maupun klasik.“Halal bihalal merupakan penyebutan khusus terhadap sebuah tradisi yang dikembangkan secara mandiri oleh masyarakat muslim Indonesia, dengan makna mengurai kekusutan tali persaudaraan” katanya.
Dikatakan, kata halal bihalal berasal dari kata halla-yahallu-hallan, dengan makna terurai atau terlepas. Begitu juga dengan keluarga Esemku Manis (Esempe Enem Kutho, Mandiri, Adaptif, Nurmatif, Inspiratif, Solutif) yang berusaha mengurai kusut-kusut yang telah dilakukan dengan sebuah langkah demi kebaikan bersama, tali persaudaran yang kuat.
"Halal bihalal merupakan sebuah media untuk mengembalikan kekusutan hubungan persaudaraan dengan saling memaafkan pada saat dan atau setelah hari raya Idul Fitri. Sehingga istilah halal bihalal itu hanya dikenal seusai sholat Idul Fitri" katanya.
Saling memaafkan
Sementara itu, H. Ismadi, S.Pd, MM, Kepala Sekolah Esemku Manis dalam sambutannya menyambut baik dan mengapresiasi kegiatan halal bihalal ini. Manusia itu tidak akan lepas dari dosa. Karena itu, pada kesempatan ini kita sepantasnya saling memaafkan diantara kita. "Kita ini saudara, jadi sepantasnya kita saling memaafkan," tukas Ismadi.
Dikatakan, interaksi sosial di masyarakat misalnya selama setahun sebelum Idul Fitri di tengah-tengah kita terjadi kesalahpahaman, atau banyak kesalahan -kesalahan lain yang dilakukan secara sengaja maupun tidak di antara sesama, maka halal bihalal ini adalah sebagai momen dan waktu yang baik untuk mengurai keruwetan yang tentu mengganjal hati tersebut, dengan cara meminta maaf dan juga memaafkan,” terangnya.
Fitri bermakna Suci
Pertanyaan nya mengapa istilah halal bihalal hanya berlaku setelah Idul Fitri, Ya betul karena hal tersebut memiliki hubungan kuat dengan makna lafal Idul Fitri, yakni perayaan kembalinya manusia pada kesucian. “Idul berarti suatu perayaan yang diulang-ulang, sedangkan fitri bermakna suci.
"Maka Idul Fitri merupakan perayaan kembalinya manusia terhadap kesucian yang hanya bisa diraih dengan memperoleh ampunan dari Allah swt, dan mendapatkan maaf dari sesama manusia,” ujarnya.
Terkait dengan makna yang terkandung dalam istilah halal bihalal, Moch.Isnaeni mengutip uraian Quraish Shihab dalam bukunya Membumikan Al-Qur’an yang menjelaskan sejumlah aspek untuk memahami istilah Halal Bihalal, diantaranya:
Pertama, dari aspek hukum fikih. Halal yang oleh para ulama dipertentangkan dengan kata haram, apabila diucapkan dalam konteks halal bihalal memberikan pesan bahwa mereka yang melakukannya akan terbebas dari dosa.
"Dengan demikian, halal bihalal menurut tinjauan hukum fikih menjadikan sikap yang tadinya haram atau yang tadinya berdosa menjadi halal atau tidak berdosa lagi, yang ini tentu baru tercapai apabila persyaratan lain yang ditetapkan oleh hukum terpenuhi oleh pelaku halal bihalal, seperti secara lapang dada saling maaf-memaafkan" katanya.
Kedua, dari aspek bahasa atau linguistik. Kata halal dari segi bahasa terambil dari kata halla atau halala yang mempunyai berbagai bentuk dan makna sesuai rangkaian kalimatnya. Makna-makna tersebut antara lain, menyelesaikan problem atau kesulitan atau meluruskan benang kusut atau mencairkan yang membeku atau melepaskan ikatan yang membelenggu.
"Dengan demikian, jika memahami kata halal bihalal dari tinjauan kebahasaan ini, seorang akan memahami tujuan menyambung apa-apa yang tadinya putus menjadi tersambung kembali. Hal ini dimungkinkan jika para pelaku menginginkan halal bihalal sebagai instrumen silaturahim untuk saling maaf-memaafkan sehingga seseorang menemukan hakikat Idul Fitri.
Sesuatu yang menyenangkan
Ketiga, dari aspek tinjauan Qur’ani. Halal yang dituntut adalah halal yang thayyib, yang baik lagi menyenangkan. Dengan kata lain, Al-Qur’an menuntut agar setiap aktivitas yang dilakukan oleh setiap Muslim merupakan sesuatu yang baik dan menyenangkan bagi semua pihak. Inilah yang menjadi sebab mengapa Al-Qur’an tidak hanya menuntut seseorang untuk memaafkan orang lain, tetapi juga lebih dari itu yakni berbuat baik terhadap orang yang pernah melakukan kesalahan kepadanya.
Dari semua penjelasan di atas dapat ditarik simpul bahwa halal bihalal menuntut pelaku yang terlibat di dalamnya agar “menyambung hubungan yang putus, mewujudkan keharmonisan dari sebuah konflik, dan berbuat baik secara berkelanjutan”. Pesan yang berupaya diwujudkan melalui tradisi halal bihalal lebih dari sekadar saling memaafkan, tetapi mampu menciptakan kondisi di mana persatuan di antar-anak bangsa tercipta untuk peneguhan negara.
Sebab itu, halal bihalal lebih dari sekadar ritus keagamaan, tetapi juga kemanusiaan, kebangsaan, dan tradisi yang positif karena mewujudkan kemaslahatan bersama. (Diq/Isnaeni)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H