Mohon tunggu...
Moch Shidiq
Moch Shidiq Mohon Tunggu... Penulis - Pendidik di Klaten, penulis buku

Hobby Tenis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan Karakter Hanya Ramai pada Wacana dan Kerangka Konseptual

27 Juni 2020   21:09 Diperbarui: 27 Juni 2020   21:05 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendidikan karakter hingga saat ini masih terus dikedepankan oleh dunia pendidikan kita, namun pendidikan karakter itu  masih jalan ditempat. Artinya, pendidikan karakter hanya ramai pada tatanan wacana dan kerangka konseptual, apabila sudah masuk tataran implementasi, maka pihak-pihak yang menggelorakan pendidikan karakter tidak dapat berbicara banyak. Sebenarnya guru menjadi ujung tombak pendidikan karakter. Namun, sayang, guru juga kurang bekal yang cukup bagaimana strategi menerapkan pendidikan karakter itu sendiri.

Demikian benang merah yang dapat diambil dalam sekolah kebangsan angkatan pertama, yang diselanggarakan Progdi PPKn Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, Sabtu (27). Sekolah  kebangsaan sendiri dilaksanakan secara serial dari tanggal 13, 20 dan 27 Juni 2020 dengan platfoom zoom webinar. Sekolah ini diikuti lebih dari 450 peserta yang berasal dari sabang sampai meraoke, dan disiarkan secara langsung oleh TVMu dan Youtobe UAD dan Youtobe PPKn UAD Yogyakarta.

Serial terakhir Sekolah Kebangsaan menampilkan pembicara Drs. Supriyadi, M.Si yang mengupas 'Membumikan nilai-nilai Pancasila dalam  masyarakat', dan Drs. Susena, MM yang bicara 'Membelajarkan dan mengimplemantasikan nilai-nilai Pancasila dalam lingkungan keluarga'. Sekolah Kebangsaan ini dimoderatori Syifa Siti Aulia, M.Pd dan ditutup oleh Ketua progdi PPKn UAD, Dikdik Bachaqi Arif, M.Pd.

Menurut Supriyadi, berbagai upaya telah dilakukan untuk menerapkan pendidikan karakter secara fektif. Salah satunya dengan menerapkan pendidikan karakter berbasis lokal (local wasdom). Pendekatan kearifal lokal menjadi sangat penting, karena Indonesia adalah bangsa multikultural yang memiliki berbagai nilia-nilai lokal yang berbeda setiap wilayah. "Nilai-nilai lokal dengan karakteristiknya sangat  cocok diterapkan didaerah setempat, meski belum tentu cocok ditempat lain," papar Supriyadi.

Kemudian Supriyadi menyitir, fenomena Didi Kempot, seniman jalanan dan komunitas pecintanya "Ambyar" merupakan produk dari belajar nilai-nilai kemanusiaan dan seni yang memproduksi budaya, mampu menyatukan masyarakat lewat tema patah hati, tanpa ada paksaan. "Lagu-lagu lokal jawa dalam perspektif PPKn, bisa membawa lagunya dikenal dalam kancah nasional dan internasioal. Ini kearifal lokal yang mampu membawa nilai Pancasila bisa tertanam - pendidikan karakter juga terbentuk," tandasnya.

Begitu juga fenomena Didik Nini Thowok, seniman tari yang humanis, seorang pria yang mampu memainkan peran sebagai wanita lebih baik dari wanita itu sendiri. "Beliau memiliki prinsip, karena tak kenal maka tak sayang dan berlanjut dengan konsep belajarnya. 'wirasa', wirama dan'wiraga'. Karena itulah, pendidikan karakter itu sebenarnya ujung tombaknya berada dilingkungan keluarga. Bahkan, masing-masing individu memiliki peran dalam pendidikan karakter itu sendiri.

Sementara itu Suseno yang banyak bicara membumikan milai-nilai Pancasila di masyarakat mengatakan, nilai-nilai yang ada di dalam keluarga sebenarnya akan memberikan kontribusi dalam nilai-nilai di masyarakat."Sepanjang nilai-nilai itu membawa kebaikan dan universal, maka nilai-nilai itu menjadi kearifan lokal yang baik dan menjadi nilai-nilai Pancasila," tandasnya.

Sebenarnya, lanjut Suseno, nilai-nilai Pancasila itu bisa diberikan atau dilakukan dengan sendirinya, seperti keteladanan, penanaman kedisliplinan, pembiasaan, menciptakan suasna yang kondusif serta integrasi dan internalisasi. "kelima hal itu bisa membumikan nilai-nilai Pancasila dan sekaligus cara ampuh dalam membangun karakter Pancasila," ujarnya.

Nilai karakter, seperti religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kratif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat, kumunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial dan tanggungjawab. Dengan nilai karakter itu secara otomatis, nilai-nilai Pancasila akan dilakukan. "Pembisaan perilaku yang berkarater itu menjadikan manusia telah ber Pancasialis, dengan mempertimbangkan hak dan kewajibannya, sebagai insan berkepribadian Pancasila," tandasnya.

Membumikan nilai-nilai Pancasila tidak cukup hanya dilakukan melalui pembelajaran di kelas saja, tetapi juga harus dilakukan dengan pembiasaan yang mengandung nilai religius, keadilan, gotong royong, musyawarah dan keberagaman sebagai kodratnya. "Dengan begitu, nilai Pancasila lambat laun akan mendarah daging bagi insan manusia yang hidup di negara hukum ini,"tukas Suseno. (Moch. Shidiq)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun