Mohon tunggu...
KANG NASIR
KANG NASIR Mohon Tunggu... Administrasi - petualang

Orang kampung, tinggal di kampung, ingin seperti orang kota, Yakin bisa...!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Benarkah Sultan Haji Itu Palsu? (Resensi Buku Syeikh Nawawi Al-Bantani)

15 Juli 2021   23:30 Diperbarui: 15 Juli 2021   23:32 1098
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul Buku   : Syaikh Nawawi Al-Bantani

Penulis       : Amirul Ulum

Penerbit     : Global Press-Yogyakarta

Terbit       : 2021 (cetakan ketiga)

Tebal:       : 143 halaman.         

----------------------

Syeikh Nawawi Al-Bantani, adalah ulama terkemuka dari Banten yang bermukim di Mekah pada abad XIX dengan gelar Sayid Ulama Hijaz. Kehadiran buku Syeikh Nawawi Al-Bantani yang di tulis Amirul Ulum,  dapat dijadikan referensi untuk mengetahui biorgarafi dari murid Syeikh Hatib Sambas ini.

Jika dilihat secara keseluruhan, buku ini tidak hanya membicarakan Syeikh Nawawi saja, tapi ternyata membicarakan masalah sejarah Banten sejak pra Kesultanan Banten  serta  jaman Kesultanan Banten hingga Banten pada Abad XIX.  

Pada Prolog buku ini, dijelaskan mengenai penyebaran Islam di Nusantara. Dalam kaitannya dengan Banten, disini dijelaskan tentang bagaimana hubungan antara Prabu Siliwangi yang mempersunting Nyai Subang Larang yang kemudian mempunyai 3 orang  anak yakni Raden Kian Santang, Rara Santang dan Raden Walangsungsang. Rara Santang kemudian menikah dengan Syarif Abdullah, putera raja Mesir saat ibadah haji. Dari hasil perkawinannya melahirkan dua orang anak yakni Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Syarif Hidayatullah kemudian menyebarkan Agama Islam di tanah pajajaran yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Gunung Jati.

Bab I (Part One) membicarakan tentang Kesultanan Banten. Disini dijelakan mengenai Kesultanan Banten yang merupakan Kerajaan Islam. Dalam pembahasannya penulis membicarakan mengenai kegagahan Sultan Banten sejak jaman Sultan Hasanudin hingga Sultan Ageng Tirtayasa.

Setelah itu dibahas mengenai kelemahan Kesultanan Banten terutama sejak terjadinya konflik antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan Sultan Haji yang merupakan anak dari Sultan Ageng Tirtayasa sendiri. Sejak Sultan haji di ganti oleh penerusnya, Kesultanan Banten mengalami keruntuhan pada awal abad XIX.

Ada yang menarik dalam pembahasan Bab ini yakni tentang keberadaan Sultan Haji. Di tulis dalam buku ini tentang konflik antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan anaknya Sultan Haji. Digambarkan bahwa Sultan Ageng Tirtayasa mendambakan anaknya kelak akan menggantikannya sebagai Sultan di Banten bisa seperti Sultan Turki (Sultan Mahmud IV).

Maka dari itu Sultan Haji kemudian diutus untuk belajar Islam ke Mekah /Hijaz  dan mengunjungi Kerajaan Turki. Mengetahui Sultan Haji sedang belajar ke Mekah, pihak Belanda kemudian berupaya untuk menangkap dan memperalat Sultan Haji agar  berbelok membantu misi kompeni dalam menguasai Banten.

Sultan Haji dirayu dan diiming-imingi harta dan Wanita cantik, kompeni mengatakan  akan dipersembahkan asalkan Sultan Haji mau bekerjasama dengan pihak kompeni. Sultan Haji tidak mau, ahirnya ditangkap dan disksa. Meskipun Sultan Haji selalu disksa, tapi tetap tidak mau bekerjasama dengan kompeni, ahirnya Sultan Haji di bunuh.

Pihak kompeni kemudian mencari orang yang mirip dengan Sultan Haji. Setelah menemukan orangnya, didik oleh Belanda berperilaku seperti Sultan Haji, tapi punya sikap bekerjasama dengan kompeni.

Saat Sultan Haji palsu pulang ke Banten, disambut dengan baik dan meriah oleh Sultan Ageng Tirtayasa di Istana Banten. Setelah itu Sultan Ageng Tirtayasa menyerahkan Istana Banten kepada Sultan Haji karena ayahnya berharap nanti Sultan Haji akan menggatikannya sebagai Sultan Banten, sementara pusat pemerintahan di bawah Sultan Ageng Tirtayasa di pindahkan ke Tirtayasa.  

Namun sikap Sultan haji telah berubah,  sudah tidak lagi menuruti kemaun ayahnya, bahkan cenderung membangkang, bahkan Sultan Haji kemudian menyerang Istana di Tirtayasa guna merebut tahta Kesultanan Banten.

Penyerbuan gagal, Sultan Haji ditangkap, ketika akan dihukum, Sultan Haji minta maaf, lantas dimaafkan ayahnya dengan permintaan agar Sultan haji tidak mengulangi perbuatannya, soal tahta Kesultanan, nanti akan diberikan kepada Sultan Haji karena dialah Putra Mahkota.

Namun demikian, Sultan Haji kemudian minta bantuan kompeni untuk menyerang Istana Tirtayasa dan ayahnya untuk yang kedua kali. Ahirnya Sultan Ageng Tirtayasa mengalami kekalahan dan Sultan Ageng Tirtayasa bersama dengan Syeikh Yusuf Makasar (Ulama kepercayaan Sultan) menyingkir dari Tirtayasa.

Setelah itu, Sultan Ageng Tirtayasa menyerbu Istana Tirtayasa yang sudah di kuasai Sultan Haji, namun karena ada bantuan kompeni, pasukan Sultan Ageng Tirtayasa tidak dapat merebut Istana, bahkan mengalami kekalahan, Sultan Ageng Tirtaya, Syeikh Yusuf dan Pangeran Purbaya dapat ditangkap kompeni. (Hal 30-45).

Saya yang membaca buku ini agak heran, bukan soal kronik atau konflik antara Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji, tetapi soal status Sultan Haji yang dikatakan sebagai Sultan Haji palsu, sebab Sultan Haji yang asli dibunuh kompeni.

Sebagai orang Banten yang meyakini tentang kebenaran sejarah,maka saya sangat meragukan kebenaran sejarah tentang status Sultan Haji yang dikatakan sebagai Sultan Haji Palsu.

Pertanyaannya kemudian, dimana Sultan Haji yang asli itu dibunuh, jika benar, tentu ada jejak sejarah tentang itu.  Ini berkaitan dengan sumber data, dari mana penulis mengambil data bahwa Sultan Haji yang melawan Sultan Ageng Tirtayasa itu adalah Sultan Haji palsu.

Bab II (Part two) judulnya Cahaya dari Makkah, Bab ini membahas mengenai biografi perjalanan Syeikh Nawaawi sejak kecil hingga menjadi Ulama besar, sejak dari Tanara hingga tinggal di Mekah. Sedangkan Bab III (Part Thre) membicarakan masalah Kontribusi Syeikh Nawawi.

Dalam beberapa hal, saya meyakini kebenaran tentang isi yang dibahas dalam dua Bab ini karena banyak literatur yang juga isinya tidak berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh penulis ini.

Yang tidak saya ragukan tentang Syeikh Nawawi Al-Bantani --orang Banten menyebutnya Ki Nawawi -- dalam buku ini misalanya asal muasal kampungnya, siapa orang tuanya, siapa gurunya waktu belajar sebelum ke Mekkah, siapa gurunya waktu ada di Mekah dan siapa murid muridnya termasuk hasil karyanya.

Namun dalam banyak hal, ada juga yang saya ragukan tentang validitas sumber penulisan. Hal ini saya dapati lantaran dalam penulisannya banyak menggunakan teknik dialog langsung seolah betul betul sedang terjadi komunikasi dua arah  atau suatu obrolan.

Intinya, menurut pengamatan saya, nampaknya penulis buku ini mengambil sumber data tidak semata berdasarkan sumber kepustakaan, tetapi di barengi juga  dengan sumber yang berasal  dari cerita cerita yang berkembang dalam masyarakat.

Maka dari itu, sulit bagi saya untuk mengatakan jika buku ini adalah karya Ilmiah. Namun apapun itu, kehadiran buku ini bisa untuk menambah wawasan kita untuk mengetahui khazanah Ulama besar nusantara yang sama sama kita banggakan.

Banten, 15/7/2021.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun